DPO Sejak 2021, KPK Akhiri Pelarian Buron Kasus E-KTP Ini di Singapura

Ilustrasi-kpk2.jpg
(Liputan6.com)

RIAU ONLINE - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakhiri pelarian Paulus Tannos yang menjadi buronan kasus mega korupsi e-KTP. Paulus yang buron sejak 2021 ditangkap KPK di Singapura.

"Benar bahwa Paulus Tannos tertangkap di Singapura dan saat ini sedang ditahan," kata Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcayanto saat dikonfirmasi, Jumat 24 Januari 2025.

Fitroh menjelaskan pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Kejakasaan Agung untuk melengkapi syarat pemulangan Paulus ke Indonesia secepatnya.

"Secepatnya," tegas Fitroh.

Paulus Tannos masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) atau berstatus buronan sejak 19 Oktober 2021.

Paulus ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya pada 13 Agustus 2029. Mereka adalah mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya, anggota DPR periode 2014-2019 Miriam S Hariyani, dan mantan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP Husni Fahmi.

Pada 2023, KPK menyatakan bahwa tersangka Paulus Tannos telah mengubah identitasnya. Sebelumnya, Paulus Tannos terdeteksi di Thailand.

Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan Paulus Tannos mengubah paspornya di luar negeri. Namun, Ali tak menjelaskan secara rinci negara mana yang mengeluarkan paspor kepada Paulus Tannos.

"Ya betul, tentu ada paspor yang berubah dari negara lain. Tentu kami tidak bisa sebutkan saat ini, ya, negara mana yang kemudian menerbitkan paspor dari tersangka KPK yang saat ini DPO," ujar Ali soal buron kasus korupsi e-KTP di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu 8 Februari 2023, dikutip dari Liputan6.com.

Meski identitasnya diubah, Ali menyatakan pihaknya tetap melakukan pengejaran terhadap Paulus Tannos dan buron lainnya.


Dalam sidang lanjutan perkara korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP terungkap perusahaan yang meraup untung paling banyak dalam bancakan proyek senilai Rp 5,9 triliun. Perusahaan itu adalah PT Sandipala Artha Putra milik Paulus Tannos.

Perusahaan yang tergabung dalam Konsorsium PNRI itu, meraup laba bersih hingga Rp 145,8 miliar. Demikian diungkap Asisten Manajer PT Sandipala Artha Putra Fajri Agus Setiawan.

"Keuntungannya sekitar Rp 140 miliar lebih. Laba bersih sekitar 27 persen," ujar dia saat bersaksi untuk terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 15 Mei 2017.

Nilai keuntungan yang didapat PT Sandipala Arthaputra ini, lebih banyak dari keuntungan perusahaan lain yang ikut dalam pengerjaan e-KTP.

Nilai proyek yang dikerjakan perusahaan Paulus Tannos dalam proyek ini telah dibayarkan Rp 381,24 miliar dengan tagihan yang belum diberikan sebesar Rp 115,3 miliar, ditambah potongan Rp 19,1 miliar untuk konsorsium.

Keuntungan ini berasal dari pekerjaan pembuatan blangko kosong e-KTP ditambah personalisasi kartu. "Jumlah blangko 51 juta sekian, dan personalisasi 48 juta sekian," beber dia.

Dalam sidang kali ini juga terungkap harga satuan pokok produksi yang dikeluarkan PT Sandipala Artha Putra untuk blanko kosong hanya Rp 7.548. Pada persidangan sebelumnya, Direktur Utama Perum PNRI Isnu Edhi Wijaya mengaku harga satuan produksi e-KTP Rp 12 ribu.

Belakangan dia juga baru tahu harga jual blanko yang sudah dipersonalisasi ke Kementerian Dalam Negeri mencapai Rp 16 ribu. Namun dia mengaku jumlah keuntungan yang diperoleh PT Sandipala Artha Putra masih wajar.

Hal tersebut bertentangan dengan pengakuan dari tim keuangan di perusahaan lain yang juga ikut Konsorsium PNRI. Perusahaan lain hanya mendapat laba enam sampai 15 persen.

Perum PNRI sendiri sebagai kepala Konsorsium hanya mendapat untung Rp 107 miliar, sekitar enam persen dari nilai kontrak. Sedangkan PT Sucofindo mendapat laba Rp 8 miliar.

PT LEN Industri sendiri malah merasa rugi dengan pengerjaan proyek ini. Hal tersebut dikatakan Pejabat Keungan PT LEN Industri Yani Kurniati.

"Kami minus Rp 20 miliar. PT LEN perlu menghabiskan 94 persen dari pembayaran yang nilainya Rp 958,8 miliar untuk biaya produksi," ungkap dia.

Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan dua mantan pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Sugiharto sebagai tersangka. Irman dan Sugiharto didakwa melakukan korupsi e-KTP secara bersama-sama hingga merugikan negara Rp 2,3 triliun.

Tersangka ketiga yang ditetapkan KPK yakni Andi Agustinus alias Andi Narogong. Andi diduga sebagai otak dari bancakan proyek senilai Rp 5,9 triliun ini.

Tersangka lain yakni Miryam S Haryani, Miryam ditetapkan sebagai tersangka pemberi keterangan tidak benar dalam persidangan e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.