Komisi X DPR Beri Catatan untuk Kemendikdasmen Jika UN Diberlakukan Lagi

Ilustrasi-UN.jpg
(Istimewa)

RIAU ONLINE - Komisi X DPR RI memberikan catatan terkait rencana Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) untuk kembali memberlakukan Ujian Nasional (UN).

Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menilai perlu evaluasi secara berkala, jika UN diberlakukan lagi. Selain itu, kebocoran soal UN yang kerap terjadi juga harus harus diantisipasi.

“Kami juga menegaskan pentingnya evaluasi kebijakan secara berkala untuk menilai efektivitas UN dalam mencapai tujuan pendidikan nasional,” kata Hetifah dalam keterangannya kepada wartawan, Kamis, 2 Januari 2025.

“Pemerintah juga harus memastikan distribusi soal berjalan lancar, khususnya di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), serta mengatasi isu kebocoran soal yang sering terjadi,” sambungnya.

Hetifah juga menyoroti UN yang kerap membuat siswa dan orang tua tertekan secara psikologis. Sehingga, perlu adanya pendampingangn jika UNI diberlakukan lagi, untuk membantu siswa menghadapi rasa cemas.

“Mengingat pengalaman sebelumnya, UN kerap menimbulkan tekanan psikologis bagi siswa bahkan orang tua. Oleh karena itu, penting untuk menyediakan program pendampingan dan pelatihan yang membantu siswa menghadapi UN tanpa rasa cemas berlebihan,” jelasnya.


Jika konsep UN akan diubah, maka kata dia, Kemendikdasmen harus memerhatikan kebutuhan masyarakat dan lingkungan pendidikan.

“Kebijakan (ujian baru) ini harus mencerminkan kebutuhan masyarakat dan dunia pendidikan, bukan sekadar menggantikan AN tanpa dasar yang jelas,” kata dia, dikutip dari kumparan.

Sementara itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengaku telah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan UN.

Mu'ti mengatakan akan ada perubahan untuk sistem UN tahun ini. Satu di antaranya, UN hanya dapat diselenggarakan oleh sekolah yang telah mengantongi akreditasi. Meski begitu, dia tidak merinci standar akreditasi tersebut.

"Yang pertama kami tegaskan bahwa yang menjadi penyelenggara ujian itu adalah satuan pendidikan yang terakreditasi. Jadi satuan pendidikan yang tidak terakreditasi itu tidak bisa menjadi penyelenggara ujian nasional," ujar Mu'ti.

Sejak awal, ujian nasional telah melalui berbagai evaluasi dan perubahan nama. Terakhir, ujian nasional dinamakan Assessment Nasional (AN) yang hanya digunakan sebagai sampling dan bukan penentu kelulusan.

"Assessment Nasional berbasis komputer itu yang itu bentuknya sampling dan tidak menjadi penentu kelulusan. Nah, sekarang kan dinilai oleh banyak pihak itu belum memadai," tutur Mu’ti.

"Misalnya waktu kami ketemu dengan tim seleksi nasional masuk perguruan tinggi mereka memerlukan hasil belajar yang sifatnya individual. Sementara AN itu kan sifatnya sampling. Sehingga apa yang dicapai oleh suatu satuan pendidikan melalui perwakilan murid-muridnya yang di sampling itu dianggap sebagai nilai dari sekolah itu," sambungnya.

Mu'ti telah mengkaji perihal kelulusan yang berstandarisasi nilai rapor. Dia mengatakan, hal tersebut banyak dikeluhkan masyarakat sebab guru bersikap objektif dalam menilai. Ia memastikan untuk ujian nasional tahun ajaran mendatang, akan menggunakan sistem yang berbeda dari sebelumnya.