RIAU ONLINE - Setelah viral, polisi bergerak cepat menyelidiki kasus pengeroyokan dokter koas di RSUD Siti Fatimah Az-Zahra, Muhammad Luthfi. Korban luka-luka di bagian wajah dan kepala setelah dipukuli salah seorang teman koas yang tidak setuju dengan penjadwalan piket pada Malam Tahur Baru.
Hal serupa juga terjadi pada kasus kekerasan seorang anak pemilik toko roti di Jakarta Timur terhadap karyawannya, yang baru diselidiki intensif. Pelaku pun ditangkap aparat setelah viral.
Padahal, korban telah berbulan-bulan bolak-balik mengadukan kasusnya, bahkan hingga terpaksa menjual motornya untuk membayar pengacara dan ongkos perkara.
Kasus-kasus yang viral dan menarik perhatian luas publik seakan ikut "menekan" aparat untuk mengambil langkah hukum dengan lebih cepat dibanding sebelum viral.
Hal ini dibahas dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Kapolda Kalimantan Tengah Irjen Pol Djoko Poerwanto dan Kapolres Jakarta Timur Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 17 Desember 2024.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Golkar Rikwanto mempertanyakan langkah polisi untuk kasus penganiayaan karyawan toko roti di Jakarta Timur.
"Yang menjadi pertanyaan masyarakat itu kenapa kasus yang "sederhana" seperti itu, lukanya ada, saksinya ada, barang buktinya ada, kemudian TKP (tempat kejadian perara) juga ada, termasuk videonya juga ada, kok sampe dua bulan. Penyelidikannya hampir satu bulan, penangkapannya hampir satu bulan juga. Itupun setelah viral," katanya, dikutip dari VOA Indonesia, Jumat, 20 Desember 2024.
Pertanyaan yang sama juga diajukan anggota Komisi III dari Fraksi Partai NasDem Rudianto Lallo kepada Kapolres Jakarta Timur Kombes Pol Nicolas Ary Lilipaly, yang menjawab bahwa pihaknya sempat memanggil tersangka untuk diperiksa.
“Tapi karena merasa tidak aman, orang tua membawa pelaku ke Sukabumi, Jawa Barat, untuk mengobati pelaku dengan cara pengobatan alternatif,” ujarnya.
Namun, jawaban Kombes Nicolas mendapat kecaman dari Rudianto.
"Ini catatan saya Pak kapolres. Karena kalau nanti viral baru kemudian ditangani, kita sampaikan kepada masyarakat Indonesia. Kalau masyarakat Indonesia pencari keadilan mau ditangani, ya viralkan dulu. Kan tidak bagus kalau penegakan hukum seperti itu," ujarnya.
Kasus George “Kebal Hukum” vs Karyawan
Kekerasan anak pemilik roti, George Sugama Halim, terhadap karyawannya, Dwi Ayu, yang terjadi pada 17 Oktober 2024 ditangani kepolisian setelah viral. Kekerasan ini berawal saat Dwi Ayu menolak diminta mengantar makanan ke kamar pribadi George, karena menilai hal itu bukan bagian dari tugasnya sebagai karyawan toko roti.
Dwi mengaku kerap dihina Goerge sebagai orang miskin dan dibandingkan dengan George sebagai orang yang kebal hukum. Dwi sempat minta berhenti kerja, tapi bertahan setelah dibujuk adik pelaku, dengan syarat tidak akan diminta mengantar makanan ke kamar pribadi George.
Namun, Dwi tetap diminta George untuk melakan hal itu. Ketika Dwi menolak, kekerasan pun terjadi. George melempar sejumlah barang ke arah Dwi hingga kepalanya luka-luka.
Dwi melaporkan kekerasan yang dialaminya itu ke Polsek Rawamangun, kemudian dialihkan ke Polsek Cakung sebagai tempat kejadian. Tetapi, dialihkan lagi ke Polres Jakarta Timur.
Dwi divisum sehari setelah bolak-balik ke beberapa kantor polisi. Sedangkan George ditangkap polisi di Sukabumi awal pekan ini setelah rekaman aksi kekerasannya viral di media sosial.
Sementara itu, Pengamat Kepolisian di Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, mengatakan banyaknya kasus kejahatan yang terjadi memang kerap menjadikan polisi harus membuat skala prioritas. Tetapi ada kecenderungan polisi tidak menindaklanjuti laporan yang tidak mendapat “dukungan” materi, kekuasaan atau seperti saat ini, kekuatan media sosial.
“Dengan posisi korban yang lemah, sementara pelaku memiliki posisi yang dominan, patut diduga memang polisi baru bekerja karena lebih dulu ada tekanan viral,”ujarnya.
Menurut Bambang, no viral no justice menjadi salah satu bentuk pengawasan masyarakat yang efektif untuk mendorong kepolisian bekerja sesuai harapan publik.
"Pasalnya, saluran kelembagaan, baik internal maupun eksternal dinilai masyarakat tidak efektif, dan senantiasa berkelindan dengan birokrasi yang rumit, demikian juga dengan aplikasi pengaduan yang dibuat kepolisian sendiri,” tambahnya.