RIAU ONLINE - Obat ketamin dimasukkan dalam daftar obat-obatan tertentu (OTT) yang sering digunakan atau psikotropika. Tindakan ini diambil Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) seiring adanya temuan penjualan ketamin secara ilegal yang disalahgunakan.
Padahal, ketamin tergolong dalam obat keras yang penggunaannya harus berdasarkan resep dokter dan membutuhkan pengawasan ketat dari tenaga medis.
Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan penyalahgunaan dan produksi ilegal ketamin tengah marak, bahkan bahan bakunya diselundupkan. Setiap tahun terjadi peningkatan putusan pengadilan terkait ketamin ilegal.
"(Disalahgunakan) supaya energi bertambah, buat rileksasi, dipakai di tempat-tempat diskotek atau tempat euforia lainnya," kata Taruna dalam keterangannya kepada media, beberapa waktu lalu, dikutip dari Suara.com, Selasa, 10 Desember 2024.
Ketamin termasuk golongan obat keras yang dapat bekerja cepat untuk menghasilkan efek anestesia dan analgesik yang kuat, sehingga menghilangkan rasa sakit serta kesadaran guna prosedur bedah dan diagnostik. Efeknya mirip seperti penyalahgunaan narkoba.
BPOM menemukan kalau penyalahgunaan tersebut banyak dilakukan oleh anak-anak muda.
"Ternyata kita dapat sebagian data, sebagian penggunanya ini pada umumnya adalah anak-anak muda generasi Z," ujar Taruna.
Taruna menegaskan penyalahgunaan ketamin dapat berdampak buruk terhadap psikologis fisik, sistem syaraf, hingga gangguan kesehatan mental jangka panjang. Dampak buruk psikologis berupa halusinasi, gangguan kognitif, dan memori, serta kecemasan hingga depresi.
Selain itu, dampak buruk fisik juga bisa menyebabkan kerusakan pada sistem saluran kemih, masalah pernapasan, kerusakan ginjal dan hati. Dampak buruk pada sistem syaraf antara lain disfungsi kognitif, risiko kejang, dan kecanduan psikologis.
Bisa pula menimbulkan penyakit mental dalam jangka panjang, seperti psikosis, skizofrenia, dan risiko bunuh diri.
Selama 2024, tercatat sebanyak 440 ribu vial ketamin injeksi yang beredar ke fasilitas pelayanan kefarmasian, meningkat hingga 87 persen dibandingkan tahun 2023.
Penyimpangan peredaran ketamin injeksi itu terjadi di tujuh provinsi, yaitu Lampung, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat.
Penyimpangan peredaran tertinggi terjadi di Provinsi Lampung dengan jumlah 5.840 vial ketamin. Sedangkan di 3 provinsi lain yang juga tinggi adalah Bali (4.074 vial), Jawa Timur (3.338 vial), dan Jawa Barat (1.865 vial).