RIAU ONLINE - Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mendapat banyak tentangan dari berbagai pihak.
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebutkan bahwa jika rencana PPN 12 persen pada 1 Januari 2025 ini tetap terjadi, maka akan berimbas besar pada kondisi ekonomi masyarakat.
Menurutnya, akibat dari PPN 12 persen adalah semua instrumen dana pihak ketiga (DPK), khususnya tabungan akan tersedot ke konsumsi.
Dikutip dari KUMPARAN, Senin, 25 November 2024, Huda menjelaskan bahwa DPK yang lesu pernah terjadi saat pandemi COVID-19, kondisi ini dinilai karena masyarakat menghabiskan uang tabungan untuk konsumsi alias makan tabungan atau mantab.
"Kenaikan tarif PPN 12 persen akan membuat sebagian besar masyarakat akan 'mantab' alias makan tabungan. Semua instrumen DPK akan menurun, terlebih tabungan yang akan tersedot ke konsumsi," ungkapnya.
Berdasarkan data, total simpanan masyarakat Indonesia di perbankan merosot 6 persen (yoy), dengan nilai Rp 8.460 triliun pada Oktober 2024. Simpanan ini terdiri dari tabungan, giro, dan simpanan berjangka dalam bentuk rupiah maupun valas.
Huda juga menjelaskan, instrumen yang turun cukup signifikan ialah simpanan berjangka, seperti deposito. Menurutnya, hal tersebut sangat terkait dengan suku bunga pengembalian Surat Utang Negara (SUN) yang tinggi.
"Dengan suku bunga pengembalian SUN yang tinggi maka suku bunga deposito harus juga bersaing. Jika masih menawarkan suku bunga rendah, produk deposito bank tersebut tidak akan laku," ucap Huda.
Selain itu, faktor ketidakpastian ekonomi juga memicu orang tidak akan menyimpan di deposito kembali. Kata Huda, masyarakat bakal beralih mengandalkan instrumen tabungan yang lebih likuid.
"Ketika mereka (masyarakat) butuh uang, maka uang di tabungan akan lebih berguna dibandingkan di deposito," pungkasnya.