Sederet Guru yang Dipolisikan Usai Dituduh Aniaya Siswa

Supriyani-guru-honorer-dipolisikan.jpg
(Suara.com/ANTARA)

RIAU ONLINE - Supriyani, menjadi satu dari sejumlah guru honorer yang dilaporkan ke polisi usai dituduh menganiaya siswanya. Kisah guru di Sulawesi Tenggara ini menambah daftar deretan guru yang rentan dipoliskan orang tua siswa.

Selain Supriyani, kasus serupa juga pernah menimpa sejumlah guru di berbagai daerah Indonesia, sebagaimana dilansir dari kumparan, Jumat, 1 November 2024.

1. Supriyani Dipenjara Usai Dituduh Aniaya Siswa

Supriyani, guru honorer SDN 4 Baito, Desa Wonua Raya, Kecamatan Baito, Kabupaten Konowe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra), diaporkan orang tua siswa ke Polsek Baito, pada 2024 lalu. Supriyani dituduh menganiaya siswanya yang masih di bawah umur.

Kejaksaan sempat melakukan penahanan terhadap Supriyani, tapi kemudian penahanannya ditangguhkan. Kini, kasus ini masih dalam proses sidang di PN Andolo, Kabupaten Konawe Selatan, Sultra.

Dugaan penganiayaan itu terjadi pada Rabu, 24 April 2024, sekitar pukul 10.00 WITA. Supriyani kemudian dilaporkan orang tua korban ke Polsek Baito, pada 26 April 2024.

Siswa yang disebut menjadi korban dugaan penganiayaan oleh Supriyani merupakan anggota Polri. Anak dari Nurfitriana dan sang ayah, Aipda Wibowo Hasyim yang menjabat Kanit Intelkam Polsek Baito.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) lantas mengusulkan adanya RUU Perlindungan Guru untuk mencegah kasus serupa.

Ketua PGRI Unifah Rosyidi mengatakan pihaknya telah melakukan rapat bersama Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Nasional untuk mendorong Kemendikdasmen, Komisi X, bahkan Ketua DPR, agar menggodok RUU Perlindungan Guru.

Unifah menyebut sudah menyiapkan naskah akademik dan akan bersurat ke DPR serta Kemendikdasmen.

2. Masse, Guru Dipolisikan karena Salah Pukul

Masse (52), guru SDN 27 Doule, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, dipolisikan setelah diduga menganiaya siswanya. Masse diduga menganiaya siswa kelas 5 SD berinisial RAP pada Rabu, 9 Oktober 2024 di lingkungan sekolah.

Masse menerangkan bahwa kejadian itu berawal saat dirinya memeriksa kebersihan kelas di sekolah. Masse kemudian meminta RAP membuang sampah dalam tong sampah. Tapi, anak tersebut justru pergi dengan alasan tidak bisa mengangkat sampah itu sendiri.

Masse lalu memegang tangan RAP sembari mencari rekannya agar bisa membuang sampah itu bersama-sama. Namun, RAP tidak mau dan melawan.

“Dia melawan dengan cara menghempaskan tangan saya dan menatap saya dengan wajah geram penuh emosi,” kata Masse dalam keterangan tertulis.


Masse yang kaget, terpancing emosi memegang tangan RAP dan hendak memukul pangkal tangannya. Tetapi, RAP menghindar dengan menundukkan kepalanya. Akibatnya, pukulan Masse meleset mengenani pipi RAP.

“Saya kaget karena salah sasaran. Saya pun hanya menyapu dada. Anak itu kemudian lari ke lapangan dan langsung menunjuk saya sembari berkata akan melapor ke bapaknya. Anak itu kemudian ke luar sekolah dan melapor kepada keluarganya,” kata dia.

Setelah kejadian itu, orang tua RAP berinisial FH langsung datang ke sekolah. Di sana, FH protes kepada Masse karena FH mendapat laporan kepala anaknya dibenturkan ke tembok kemudian dipukul.

Merasa bersalah, Masse berupaya menyelesaikan kasus tersebut secara kekeluargaan. Namun tidak ada titik temu. Bahkan Masse tiba-tiba mendapat panggilan dari penyidik Polres Bombana untuk menghadiri panggilan klarifikasi pada Kamis, 17 Oktober 2024.

Kasus ini telah berakhir dengan penyelesaian secara kekeluargaan. Proses mediasi dilakukan langsung oleh aparat kepolisian di Polres Bombana, pada Senin, 28 Oktober 2024.

"Telah dilakukan mediasi perkara kekerasan terhadap anak sesuai dengan laporan aduan yang dibuat oleh orang tua korban yang terjadi di lingkungan sekolah SDN 27 Doule," kata Kasat Reskrim, Polres Bombana Iptu Yudha Febry Widanarko kepada wartawan, Senin sore.

Hasil dari mediasi tersebut, terlapor mengakui perbuatannya kepada korban dan menyampaikan permintaan maafnya kepada orang tua siswa.

3. Zaharman, Guru SMA Dipolisikan hingga Diketapel Usai Tegur Siswa Merokok

Zaharman (58), seorang guru SMAN 7 di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, diketapel oleh Arpanjaya (45), ayah dari PD (16) pada Selasa, 1 Agustus lalu. Arpanjaya tidak terima atas laporan anaknya yang ditegur karena merokok di kantin sekolah.

Zaharman juga dipolisikan pada Kamis, 3 Agustus 2024. Saat diperiksa, PD membantah tuduhan merokok di kantin sekolah dan menyebut temannya yang melakukan perbuatan tersebut.

"Dari keterangan anak pelaku PD bahwa tuduhan yang disampaikan Zaharman adalah salah. Sebab PD tidak merokok, tetapi temannya yang merokok," kata Denyfita, Jumat, 4 Agustus 2024.

Akibat dikatapel oleh PD, mata Zaharman mengalami kebutaan pada mata sebelah kanan secara permanen. Pihak sekolah juga sudah melaporkan Arpanjaya ke Polsek Padang Ulak Tanding (PUT), Kabupaten Rejang Lebong, atas kasus penganiayaan.

Sementara itu, anak Zarahman, Ilham Mubdi, membenarkan bahwa ayahnya memang menendang anak Arpanjaya di bagian kakiny. Bukan pada area kepala seperti kabar yang beredar di publik. Menurutnya, tindakan itu terjadi spontan karena ayahnya terkejut melihat siswanya merokok di kantin sekolah.

"Benar ayah saya menendang, tapi bukan area fatal seperti kepala, melainkan hanya kakinya saja. Itu pun spontan kayak terkejut aja lihat anak tersebut di kantin sambil merokok. Bukan menendang membabi buta," jelas Ilham.

Adapun Arpanjaya sudah menyerahkan diri ke polisi didampingi oleh istri dan kerabatnya.

4. Guru Hukum Siswa Squat Jump 100 Kali Hingga Tewas

Seorang guru agama SMPN 1 STM Hilir berinisial SW menghukum siswanya, Rindu Syahputra Sinaga (14), akibat korban tidak menghapal nama-nama nabi dalam Alkitab. Hukuman yang diberikan adalah squat jump sebanyak 100 kali pada Kamis, 19 September 2024.

Menurut kesaksian ibu korban, Yuliana Derma Padang, Rindu sepulang sekolah mengeluh sakit, mulai dari sakit kaki hingga demam tinggi. Rindu sempat dibawa ke klinik. Namun, kondisinya tak membaik. Lalu, ia dibawa ke RS Sembiring di Kecamatan Deli Tua.

Nahas, Rindu meninggal pada Kamis, 26 September atau sepekan setelah hukuman ini. Yuliana berkata bahwa anaknya sempat berpesan sebelum meninggal.

“Anak saya waktu masih sakit bilang ‘mak kakiku sakit sekali, penjarakan lah guru itu mak biar dia jangan biasa begitu’,” kata Yuliana.

“Jadi kami memohon kepada pihak hukum tolong kasus ini diusut supaya ke depannya tak terjadi seperti ini lagi,” sambungnya.

Menanggapi hal ini, Ombudsman Sumut memanggil kepala Dinas Pendidikan Deli Serdang, Yudi Hilmawan, Kepala Sekolah SMPN 1 STM Hilir, hingga SW, untuk dimintai klarifikasi pada Selasa, 1 Oktober 2024.

Pjs Kepala Ombudsman Sumut, James Marihot, berkata bahwa saat ditemui, SW dalam kondiri syok.

"Ibarat kata ada WhatsApp masuk sama dia, (dibilang) kau pembunuh, kau harus bertanggung jawab dan sebagainya gitu kan. Satu sisi dia terbeban mental-lah” sambung dia.

Belum ada perkembangan dari kasus tersebut.