Puluhan Tahun Pimpin PDIP, Ada Cerita Mistis saat Pertama Megawati Terpilih Jadi Ketum

Megawati-Soekarnoputri13.jpg
(Dok PDIP)

RIAU ONLINE - Megawati Soekarnoputri, sudah puluhan memimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sejak terpilih pertama kali dalam Kongres Luar Biasa (KLB) di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur. Kongres ini juga menjadi yang terpanas sepanjang sejarah perjalanan PDIP.

KLB yang digelar pada 2-6 Desember 1993 berbuntut pada macetnya pemilihan Ketua Umum (Ketum) partai banteng yang dahulu masih menjadi PDI, di Kongres IV di Medan, Sumatera Utara, Juli 1993.

Nama Megawati Soekarnoputri lalu mencuat sebagai Calon Ketum PDI. Dukungan arus bawah juga mengalir deras untuk putri sang Proklamator itu.

Namun, rezim Presiden Soeharto tidak menyukai sosok Megawati. Pemerintah kala itu punya calon sendiri, Budi Harjono. Pemerintah bahkan melibatkan militer untuk menggagalkan Megawati naik ke kursi Ketum PDI.

Tapi kemudian, KLB itu berakhir deadlock, meski Megawati secara de facto sudah terpilih sebagai Ketum PDI. KLB ini juga sempat diwarnai cerita mistis.

Panda Nababan, pelaku sejarah KLB PDI di Surabaya, mengungkap bahwa saat kongres berlangsung, ada seorang ibu yang datang membawa buntalan diikat selendang. Ibu itu mengaku datang dari desa yang sangat jauh di Jawa Timur.

Kepada Panda, ibu itu mengatakan bahwa ada banyak kekuatan gaib yang mencoba menyerang Megawati. Sang itu lantas memberikan buntalan itu sebagai pagar pengaman untuk Megawati. Buntalan itu harus ditaruh di bawah bantal Megawati.

Buntalan itu diterima Panda, tapi tidak diberikan kepada Megawati. Panda meyakini Megawati bukan orang yang akan mempercayai hal mistis. Ditaruhnya buntalan itu di laci atas filling cabinet di posko pemenangan Megawati.

Sejak saat itu, kata Panda, Tim Garuda, yang merupakan tim sukses Megawati, sering terlibat konflik antara satu sama lain.

"Saat itu suasana kongres semakin memanas. Anehnya, kami yang berada dalam satu tim bukannya kompak tapi malah sering terlibat konflik satu sama lain. Konflik bahkan bisa dipicu sesuatu yang sangat sepele," ujar Panda dalam buku dua otobiografi Panda Nababan "Dalam Pusaran Kekuasaan", yang dikutip dari Suara.com, Senin, 2 September 2024.



Menurut Panda, hal ini sulit dicerna akal sehat. Ia kemudian memutuskan berkonsultasi dengan paranormal, Ki Gendeng Pamungkas, teman lamanya. Panda lalu disarankan untuk membuang bungkusan itu ke sungai di Surabaya.

"Ajaib. Setelah itu, tim Garuda solid lagi, kompak," ujar Panda Nababan.

Namun, kaki tangan pemerintah di internal PDI berhasil menghalangi Megawati untuk menjadi utusan DPC PDI Jakarta di KLB. Padahal, Megawati saat itu adalah Ketua DPC-nya.

"Baru tiba di teras posko, Puan sudah menangis meraung-raung yang langsung dirangkul Taufiq Kiemas dan mendudukkan Puan di pangkuannya," kisah Panda Nababan.

Kubu Megawati mengurus perpindahan Megawati ke Jakarta Selatan agar bisa menjadi anggota DPC PDI Jakarta Selatan. Setelah itu, DPC PDI Jakarta Selatan melakukan konferensi cabang khusu untuk menentukan wakil-wakilnya di KLB Surabaya.

Lewat lobi politik, Mega ditunjuk sebagai salah satu wakil DPC PDI Jakarta Selatan di KLB bersama Ketua PDI Jakarta Selatan ex officio Ratih Ratna Poernami. Saat KLB berlangsung, Mega dilarang masuk ke arena kongres.

"Suasana di kongres semakin panas. Kursi dan asbak sudah terbang dilempar peserta kongres. Megawati sudah diamankan di bawah meja. Lampu dimatikan. Kepanikan melanda," ujar Panda menggambarkan situasi KLB PDI saat itu.

Chaos-nya suasana kongres sampai ke telinga Puan Maharani, anak Megawati. Puan yang saat itu masih kuliah di Universitas Indonesia, sengaja datang ke Surabaya untuk mengecek kondisi orang tuanya.

Sebagai lanjutan dari KLB Surabaya, digelar Musyarawah Nasional PDI di Jakarta pada 22-23 Desember1993. Pemerintah lewat militer kembali berupaya menggagalkan langkah Megawati dipilih menjadi Ketum PDI.

Namun Direktur A Badan Intelijen Strategis (Bais) Brigjen Agum Gumelar yang ditugaskan menggagalkan Munas PDI tidak menjalankan perintah atasannya.

Agum membiarkan Munas PDI berjalan lancar tanpa intervensi siapapun dari pihak pemerintah. Ini terlihat ketika ada rekan Agum dari Departemen Dalam Negeri dan Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) mau mengacaukan Munas.

“Eit, no, no, no biarkan mereka berpesta demokrasi,” kata Agum kepada dua rekannya itu.

Alhasil munas berjalan mulus dan Megawati diangkat menjadi Ketua Umum PDI yang sah. Agum punya alasan mengapa waktu itu ia tidak menganggu Munas PDI.

Hingga kini, sudah 30 tahun lebih Megawati memimpin partai berlambang kepala banteng itu. Megawati menjadi sosok yang kharismatik yang membuatnya tak tergantikan di PDIP.