Dipelopori Kakek Prabowo, Kini Ganjar Dorong DPR Gunakan Hak Angket Lagi

Ilustrasi-hak-angket2.jpg
(Foto: Achmad Ibrahim/AP Photo via VOA Indonesia)

RIAU ONLINE - Hak angket DPR tengah ramai jadi perbincangan publik setelah Pilpres 2024. Capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, sebelumnya mendorong partai pengusungnya untuk menggunakan hak angket terhadap dugaan kecurangan pada Pilpres 2024 di DPR.

Menurut Ganjar, hak angket yang merupakan hak penyelidikan DPR, menjadi salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait penyelenggaraan Pilpres 2024.

Sejumlah pihak, termasuk Presiden Jokowi, pun menanggapai usulan dari Ganjar tersebut. Jokowi menyebut usulan penggunaan hak angket DPR merupakan hak demokrasi.

"Ya itu hak demokrasi, enggak apa-apa kan," kata Presiden Jokowi saat memberikan keterangan kepada media usai menghadiri Puncak Peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2024 di kawasan Ancol, Jakarta.

Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, juga mengomentari usulan hak angket DPR ini. Menurutnya, hak angket memang hak politis DPR, namun partainya menolak untuk menggulirkannya.

“Hak angket kan hak politikus DPR. Tetapi Partai Golkar dan partai koalisinya pasti akan menolak,” kata Airlangga.

Ia meyakini penolakan juga pasti datang dari Partai Demokrat. “Dengan Mas AHY masuk (ke pemerintahan), jadi (partai) yang di luar pemerintah semakin sedikit,” ujar Airlangga.

Selain Golkar dan Demokrat, dua partai pengusung Prabowo-Gibran yang masuk parlemen, yakni Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Lantas, bagaimana sejarah hak angket di Indonesia?

Laman Mahmakah Konstitusi menjelaskan bahwa hak angket DPR memiliki filosofi dasar sebagai instrumen check and balance dalam sistem demokrasi presedensial yang dianut negara ini.

Artinya, hak angket hanya ditujukan bagi lembaga eksekutif di bawah presiden. Ahli hukum tata negara, Refli Harun, dalam sumber yang sama menyebutkan bahwa dari sisi sejarah, keberadaan hak angkat berawal dari hak untuk mengintervensi (right to investigate) dan memeriksa penyalagunaan kewenangan, dan menghukum penyelewengan-penyelewengan dalam administrasi pemerintahan, yang kemudian disebut right to impeachment, sebagaimana dilansir dari Suara.com, Kamis, 22 Februari 2024.



Sejumlah sumber sejarah mengungkap bahwa hak angket pertama kali digulirkan oleh DPR pada era pemerintahan Soekarno. Hak angket pertama dipelopori oleh R. Margono Djojohadikusumo yang saat itu menjabat sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) -- lembaga yang dibubarkan pada 31 Juli 2003.

Margono adalah kakek dari capres nomor urut 2, Prabowo Subianto. Kala itu tahun 1950, Margono mendorong DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki untung rugi penggunaan devisa oleh pemerintah berdasarkan UU Pengawasan Deviden 1940.

Hak angket pertama itu pun bergulir di bawah pimpinan Margono bersama 13 orang anggota. Sayangnya, nasib hak angket itu tidak jelas hingga pemilu 1955 rampung dan kabinet dibentuk Soekarno.

Di Orde Baru, tepatnya pada 1980, hak angket pertama digunakan. Kala itu, DPR menggulirkan hak angket disebabkan ketidakpuasan anggaota dewan terhadap jawaban Presiden Soeharto, terkait kasus H Thahir dan Pertamina.

Pada sidang pleno DPR RI 21 Juli 1980, Soeharto mengutus Menteri Sekretaris Negara Sudharmono untuk memberikan penjelasan kepada DPR terkait kasus tersebut.

DPR yang tidak puas dengan penjelasan pemerintah, membentuk panitia angket yang terdiri dari 14 orang dari fraksi PDI dan 6 orang fraksi PPP. Namun, hak angket itu kemudian mendapat penolakan dalam sidang pleno DPR selanjutnya.

Pasca Orde Baru tumbang, dan Abdurrahman Wahid jadi Presiden, hak angket digulirkan DPR di kasus Buloggate dan Bruneigate. Hak angket di era Gus Dur ini berawal saat presiden mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen.

DPR melawan dan menggunakan hak angket di kasus bulog dan sumbangan dari Sultan Brunei Hassanal Bolkiah untuk rakyat Aceh sebesar 2 juta dollar AS.

Di era Gus Dur ini, DPR juga gunakan hak interpelasi yang berujung Gus Dur lengser pada 2001 dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.

DPR juga sempat menggulirkan hak angket saat Megawati menjadi Presiden. Hak angket tersebut terkait kerugian negara sebesar Rp40 miliar di kasus nonbujeter Bulog.

Berlanjut di era Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden, hak angket digulirkan DPR terkait kasus penjualan kapal tangker Pertamina.

Sebelum hak itu bergulir, Pertamina dinyatakan bersalah oleh Komite Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) terkait penjualan dua unit kapal tanker VLCC di 2004. Setahun setelahnya hak angket digulirkan DPR.

Hak angket di era Presiden SBY juga dilakukan DPR pada kasus DPT Pemilu 2009 dan hak angket Century. DPR pada 1 Desember 2009 kemudian membentuk panitia khusus hak angket Bank Century.

Panitia Khusus Hak Angket Bank Century berawal dari para pengusul yang terdiri dari sembilan orang yang kemudian hari lebih disebut sebagai Tim 9.

Tim 9 itu ialah Maruarar Sirait (PDIP), Ahmad Muzani (Gerindra), Andi Rahmat (PKS), Lili Wahid (PKB), Mukhamad Misbakhun (PKS), Akbar Faisal (Hanura), Chandra Tirta Wijaya (PAN), Kurdi Moekri (PPP), dan Bambang Soesetyo (Golkar).

Hak angket Century sendiri pada keputusan DPR pada 3 Maret 2010 menghasilkan keputusan bahwa bailout century menyimpang. Sementara di era pemerintahan Jokowi, hak angket digulirkan DPR di kasus KPK.

Hak angket KPK ini bermula saat komisi antirasuah itu menolak memberikan rekaman BAP terhadap Miryam Haryani di kasus e-KTP. BAP Miryam itu menyeret sejumlah nama anggota dan mantan anggota DPR.

Wakil ketua DPR saat itu Fahri Hamzah pada sidang paripurna menyetujui penggunaan hak angket KPK. Namun, Fraksi Gerindra, Demokrat dan PKB menolak hak angket kepada KPK.