8 Juta Lahan HGU Tak Terpetakan Ditemukan Jadi Pemicu Konflik Agraria di Tanah Air

Konflik-Lahan.jpg
(Liputan6.com/Rino Abonita)

RIAU ONLINE - Sebanyak 8,3 hektare lahan hak guna usaha (HGU) ditemukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum terpetakan. Hal ini disebut sebagai penyebab maraknya konflik di bidang agraria.

Berdasarkan kajian Direktorat Monitoring KPK dalam empat tahun terakhir, Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengungkapkan bahwa dalam empat tahun terakhir telah terjadi 31.228 kasus pertanahan dengan rincian 37 persen sengketa; 2,7 persen konflik, dan 60 persen perkara. Selama periode itu juga ditemukan 244 kasus mafia tanah.

Nurul mengatakan permalasahan klasik sengketa agraria, yaitu tumpang tindih HGU. Lewat kajian 'Pemetaan Korupsi Layanan Pertanahan Tahun 2022'. KPK menemukan sengketa terjadi karena proses sertifikat HGU di Indonesia masih banyak yang belum terpetakan (landing).

"Sertifikat HGU yang belum terpetakan mencapai 1.799 sertifikat dengan luas mencapai 8,3 juta hektare,” kata Gufron dalam keterangannya, dikutip dari Suara.com, Kamis, 5 Januari 2022.

Dijelaskan Nurul, pemicunya adalah pengukuran tanah yang sebelumnya masih menggunakan koordinat lokal atau berdasarkan tanda alam, dan belum menerapkan sistem proyeksi turunan sistem koordinat Universal Transerve Mercator (TM-3), serta terbitnya SK penetapan Kawasan hutan dan Perda RTRW kawasan hutan setelah HGU terbit.



"Fakta ini didapati setelah KPK melakukan analisis data terhadap 299 berkas layanan HGU tahun 2021 dari Sistem Komputerisasi Kantor Pertanahan mulai dari pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan di 25 provinsi. Pada saat yang sama KPK juga melakukan pengujian standar layanan Service Level Agreement (SLA)," tutur Gufron.

Selama ini banyak terjadi kasus atas satu bidang tanah terbit beberapa sertifikat. Kemudian dilaporkan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ketika terjadi konflik, kata Nurul, BPN sebagai pihak berwenang seolah lepas tanggung jawab hingga konflik pun bergulir ke meja hijau.

"Ketika ada masalah seakan-akan penyelesaiannya di pengadilan, yang semestinya negara itu profesional mengatakan mana yang benar dan salah. Seakan-akan tidak mau ambil risiko dan rakyat yang berjuang sendirian. Kami berharap ada perbaikan dari teman-teman BPN,” ujarnya menambahkan.