RIAUONLINE - Hingga kini peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) masih jadi misteri terbesar bangsa Indonesia. 6 jenderal dan seorang perwira militer gugur dalam peristiwa mengerikan itu.
Dalang di balik peristiwa G30S pun sampai saat ini belum diketahui. Menurut narasi yang berkembang pada Orde Baru, Partai Komunis Indonesia (PKI) berada di balik peristiwa tersebut.
Tapi, ada juga yang meyakini bahwa Jenderal TNI Soeharto yang juga Presiden ke-2 Indonesia turut andil dalam peristiwa 57 tahun itu.
Sosok Soeharto pun diyakini sebagai orang di balik pembantaian jutaan orang yang dituduh sebagai bagian dari PKI.
Dugaan Soeharto ada di balik peristiwa G30S muncul karena ia luput dari target penculikan para jenderal TNI. Padahal saat itu, Soeharto juga berpangkat jenderal, tepatnya Mayor Jenderal.
Lantas, mengapa Soeharto tak masuk dalam daftar jenderal yang harus diculik?
Saat terjadinya peristiwa G30S, Soeharto menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat atau Pangkostrad dengan pangkat Mayor Jenderal.
Kendati berpangkat jenderal, nyatanya, Soeharto luput dari penculikan di malam nahas itu. Salah satu pelaku yang terlibat G30S, Kolonel Abdul Latif, mengatakan bahwa Soeharto tidak diculik karena dianggap sebagai salah satu loyalis Presiden Soekarno.
Latief mengungkap ini dalam kesaksiannya di Mahkamah Militer, seperti ditulis dalam buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang yang terbit pada 2010 lalu, sebagaimana dilansir dari Suara.com, Jumat, 30 September 2022.
"...karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief dalam buku tersebut.
Sementara itu, penulis buku Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto, yakni Profesor Salim Said, berpendapat bahwa Soeharto luput dari penculikan malam itu karena dianggap bukan bagian dari jenderal TNI faksi Ahmad Yani.
Pernyataan Salim Said itu termuat dalam sebuah video yang diunggah oleh akun TikTok @tentang_dunia07 beberapa waktu lalu.
Menurut Salim Said, hal itu disebabkan renggangnya hubungan antara Soeharto dan Ahmad Yani. Pasalnya, Soeharto merasa tidak senang saat Presiden Sukarno lebih memilih Ahmad Yani sebagai KASAD dan Menteri Panglima Angkatan Darat KASAD.
Soeharto merasa dirinya lebih pantas mendapat jabatan itu, terlebih lagi Ahmad Yani merupakan bawahannya saat Soeharto menjabat sebagai Pangdam Diponegoro.
Kala penculikan jenderal itu direncanakan PKI, mereka beranggapan bahwa Soeharto bukanlah jenderal yang berada di lingkaran Ahmad Yani yang dinilai sebagai dewan Jenderal.
"Artinya Soeharto bukan bagian dari klik Yani yang oleh PKI dianggap sebagai dewan jenderal,” ujar Salim Said.