RIAU ONLINE, YOGYAKARTA-Kawasan segitiga Seturan, Babarsari dan Kledokan nyaris akrab dengan pertikaian dan kerusuhan. Tak salah bila kemudian netizen banyak yang menjuluki kawasan tersebut sebagai The Gotham City yang minus Batman.
Ketiadaan sosok Batman itulah yang kemudian membuat sejumlah warga yang tinggal di kawasan The Gotham City senantiasa diliputi rasa waswas dan tak nyaman. Salah satunya seperti dirasakan oleh Bella (bukan nama sebenarnya).
Sebelum akhirnya menginjakkan kaki di Sleman, gambaran di benak Bella mengenai Jogja adalah kota yang nyaman serta adem ayem.
Tetapi pandangan itu seketika sirna ketika ia tinggal di Babarsari pada 2011 silam. Bella yang berproses menuju dewasa, menyadari ada kehidupan yang begitu mengerikan di Jogja.
"Rasanya tiap tahun pasti ada aja, langsung beda melihat Jogja. Tinggal di kota, tapi kok kayak di alam luas," ujarnya, Selasa (5/7/2022).
Bella kali pertama melihat pertikaian, saat ia masih menjadi mahasiswa baru dan pulang ke kos usai beraktivitas larut malam.
"Tetiba tawuran, orang-orang berlarian sambil bawa senjata, pentung-pentungan, tergeletak di jalanan, itu benar-benar aku lihat dari lantai atas kosan," tuturnya.
Polisi berjaga di daerah Babarsari usai terjadi kerusuhan (Instagram/@merapi_uncover)
"Berasa ngeliat game tapi nyata. Tragis. Hal kayak gini kejadian di area perkampusan pula," ungkapnya.
Saat pertikaian antarkelompok pecah kembali pada Senin (4/7/2022), Bella sedang berada di luar bersiap beraktivitas. Ia sibuk harus mencari jalan alternatif menuju tempat yang dituju.
Sudah berputar-putar, nyatanya ia kemudian justru terhenti di area tempat kejadian perkara. Sempat melihat sejumlah massa membawa perlengkapan baku hantam. Tak pakai waktu lama, ia langsung putar balik cari jalan lainnya.
"Sebetulnya jadi terbiasa [melihat bentrok massa], tapi tidak mau membiasakan. Kesannya kok malah orang-orang di Jogja lainnya yang harus membiasakan kebiasaan itu," ungkapnya.
Marah dan gregetan, dua perasaan yang mewakili benak Bella. Karena peristiwa pertikaian berujung kerusuhan jelas merugikan banyak pihak.
"Mana di jam-jam masih pulang sekolah, pulang ngampus, jam makan siang. Jadi terganggu semuanya. Sudah gitu merusak fasilitas-fasilitas orang yang jualan," sebutnya.
"Kayak gitu aku juga enggak tahu ya mereka mikirin atau enggak. Do they also pay for it and help buat beresin kegaduhan yang sudah dibuat?," ungkapnya.
Bella melihat, sehabis kegaduhan justru pihak-pihak seperti Polisi, Damkar dan lainnya yang harus membersihkan dan menyudahi apa yang sudah dimulai.
Namun Bella tak kehilangan apresiasi terhadap Babarsari. Babarsari adalah daerah pendidikan. Sekitar 10 kampus bertengger di Babarsari, begitu juga Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Atas. Satu lagi, Babarsari-Seturan merupakan pusat jajanan terlengkap di Jogja.
"F n B centered, everything in a blink of an eye daerah Babarsari-Seturan," tambahnya.
Harus Ada Tindakan Tegas
Terpisah, Via, warga Bantul yang menghuni sebuah indekos di Jalan Perumnas, Seturan mengungkapkan sekitar setahun tinggal di kawasan Babarsari sedikitnya melihat dua kali peristiwa mencekam bentrok antarkelompok.
"Yang pertama yang di dekat BRI itu, yang kedua yang kemarin itu," kata dia, kala dijumpai di sebuah warung kopi kawasan Seturan.
Pertikaian BRI yang dimaksud Via adalah peristiwa cekcok antar pihak-pihak yang berselisih paham, karena sama-sama enggan mengalah saat berkendara di jalan.
Kasus itu berakhir dengan penusukan di Jalan Seturan, Minggu (8/5/2022) dinihari. Akibat bentrokan itu, dua orang meninggal dunia akibat kena tusukan senjata tajam.
"Aku lagi di Citrouli [swalayan di simpang tiga Seturan], aku waktu itu baru pulang lembur dan beli jajan. Sekitar jam 23.00 WIB-00.00 WIB itu, kan udah rame tuh," kisahnya.
Ia mengenang, kala itu sempat merasakan kebingungan melihat keramaian yang ternyata sedang ada kericuhan akibat dua kelompok berselisih paham. Tak ingin terjebak di situasi panas, Via dan temannya sesegera mungkin mencari jalan tikus untuk sampai ke kos.
"Takut, soalnya mereka kan bawa senjata," kenang dia.
Kejadian kedua, yakni bentrok antarkelompok pada Sabtu (2/7/2022) dini hari, yang disebabkan salah satu anggota kelompok bertikai tak membayar biaya hiburan di tempat karaoke. Via sedang berada di kos saat kejadian.
Lokasi kerusuhan di tempat hiburan karaoke di wilayah Babarsari, Caturtunggal, Depok, Sleman, Sabtu (2/7/2022). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]
Via terang-terangan mengaku kerap diliputi waswas. Hari-hari ia jalani dengan tersisipi rasa khawatir. Karena ia tak pernah tahu kapan bentrok antarkelompok kembali terjadi di Seturan, di kawasan mana dan jam berapa.
"Takut sih, apalagi kan kita yang cewek sering ke mana-mana sendiri. Kalau mereka konvoi bawa sajam, mana siang-siang, kan kita juga merasa terganggu. Mana kalau salah sasaran," ujarnya.
"Mau ke mana-mana merasa enggak aman. Mana di jalur utama. Jadi mutar Seturan, terganggu banget," sebutnya.
Dari yang ia rasakan sebagai warga penghuni kos Seturan, paling menonjol justru rasa sedih.
Massa yang baku hantam kerap merusak fasilitas umum yang ada di sekitar tempat kejadian.
"Apalagi kan yang punya usaha tidak tahu-menahu kedua belah pihak yang cekcok, tapi langsung digituin [fasilitasnya dirusak]. Jadi kan yang rugi semuanya. Enggak cuma dua geng itu, tapi masyarakat sekitar, pengusaha, orang yang mencari rezeki di sana," tuturnya, sembari menunggu kopi pesanan.
Ia mengungkap, pemangku wilayah sudah selaiknya bersikap tegas bila terjadi bentrok massa.
Karena tak menutup kemungkinan, indekos yang ada di kawasan Seturan terkena imbasnya.
"Kalau kos putri mungkin lebih aman. Kalau kos putra, itu ibu-ibu pemiliknya takut kalau kosnya jadi tempat persembunyian waktu terjadi onar," ungkapnya.
Ia menilai, pemilik kos juga berhak untuk mengeluarkan anak kosnya, bila ketahuan terlibat bentrok fisik antar kelompok.
"Semua punya hak, betul memang kita tidak melarang untuk ngekos di sini atau mengusir. Sebetulnya memang butuh komitmen saling simbiosis mutualisme satu sama lain," sebutnya.
"Asal gak ganggu tindak pidana satu sama lain, bisa dimaafkan. Apalagi kalau seperti kemarin itu, hukum ditegaskan saja," tambahnya.
Via mengatakan, dibutuhkan langkah yang menimbulkan efek jera agar hal itu tak terulang. Dan pihak-pihak lain tak melakukan hal sama.
"Paling tidak sebagai gambaran yang lain supaya enggak kayak gitu," ucapnya.
Orang-orang jadi nekat terus-menerus menggelar duel kelompok, tak lain pula disebabkan kurang tegasnya penanganan kepolisian.
"Kayak yang [Polisi pikir] paling habis ini bisa damai, saling memaafkan. [Pihak-pihak bertikai] tidak benar-benar direhabilitasi atau tindakan apa gitu yang membuat jera," keluhnya dikutip dari suara.com