RIAUONLINE, JAKARTA - Sebuah wacana work from home (WFH) yang memungkinkan aparatur sipil negara (ASN) bekerja dari tengah dikaji pemerintah.
Kepala Biro Hukum, Humas dan Kerjasama Badan Kepegawaian Negara (BKN) Satya Pratama mengatakan wacana WFH muncul setelah adanya klaim yang menunjukkan meningkatkanya kualitas kerja ASN ketika kebijakan WFH diberlakukan selama pandemi Covid-19.
“Setiap kementerian atau lembaga membuat laporan setiap akhir tahun. Dan itu terlihat tidak turun, malah beberapa ASN lebih produktif pada saat dilakukan survei internal, survei eksternal yang menyebutkan ternyata lebih produktif ketika bekerja di rumah. Tapi kan kembali lagi posisi apa si ASN tersebut bekerjanya, tapi kalau kemarin itu berhasil. Jadi ternyata walaupun kerja di rumah tidak ada kontak kinerja tetap tinggi, pekerjaannya tetap selesai, fungsi dan tugas kementerian/lembaga juga jalan,” ungkap Satya kepada VOA Indonesia, seperti dikutip RIAUONLINE.CO.ID, Jumat, 13 Mei 2022.
Saat WFH diterapkan, kata dia, terjadi banyak inova-inovasi yang diklaim ASN dapat meningkatkan layanan publik ASN. Sebab itu, menurutnya, sangat disayangkan jika inovasi-inovasi tersebut tidak dilanjutkan di masa depan.
Kendati demikian, Satya menjelaskan, sistem bekerja dari rumah memang tidak bisa diberlakukan di semua bagian bidang kerja dari ASN. Sebab, beberapa bidang kerja tetap membutuhkan kehadiran fisik.
“Besar kemungkinan WFA diterapkan bagi ASN yang memiliki tugas dan fungsi yang sifatnya administratif, tetapi bagi ASN yang tugas dan fungsinya di unit kerja yang bersinggungan langsung dengan publik tetap membutuhkan kehadiran fisik atau WFO (work from office -red) untuk memastikan layanan publik terlaksana dengan baik," katanya.
"Contohnya, tenaga medis, pemadam kebakaran, Satpol PP, awak kapal patroli Bakamla dan pengawas perikanan, traffic warden, polisi hutan, petugas pemasyarakatan kumham kan harus hadir. Jadi tidak semua ASN bisa WFA dan ini perlu kajian yang mendalam dan komprehensif. Termasuk tunjangan-tunjangan bagi ASN yang kemungkinan besar perlu disesuaikan,” jelas Satya.
Terkait kapan kemungkinan WFA bagi ASN akan diterapkan, Satya belum bisa memastikan. Menurutnya, masih banyak hal yang harus dikaji, termasuk kesiapan infrastruktur informasi dan teknologi
“Saya tidak bisa jawab, karena itu harus dikaji secara komprehensif. Tapi kalau misalnya ada yang mau jadi pilot project, nanti kita lihat dan akan jadi bahan masukan. Tapi itu kemarin hasilnya bagus, jadi kalau itu bisa memperbaiki layanan birokrasi dan meningkatkan kepuasan ASN dalam bekerja, terus meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan kan bagus saja kalau diteruskan,” tuturnya.
Dalam hal pengawasan, Satya cukup yakin akan bisa berjalan dengan baik. Menurutnya, setiap kementerian dan lembaga telah melakukan pengawasan dengan cukup baik pada masa diberlakukannya WFH selama kurang lebih dua tahun ini.
“Kalau pengawasan pada saat WFH, setiap kementerian dan lembaga untuk memastikan kehadiran si ASN sudah dibikin semacam kaya absensi online berbasis lokasi, itu kan sudah berjalan dengan baik, Lalu kedua, untuk masalah kinerja sudah ada Peraturan Menpan Reformasi Birokrasi yang mengatur masalah kinerja, bagaimana cara menghitung kinerjanya. Nah misalnya nanti dibutuhkan beberapa peraturan lagi, itu akan dibentuk. Makanya itu butuh kajian, walaupun indikasi awal WFH tersebut berhasil, jadi wacana WFA mungkin saja bisa, tapi butuh kajian lebih lanjut,” katanya.
Banyak Pekerjaan Rumah
Sementara, pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah mengatakan penerapan sistem WFA bagi PNS bisa saja diterapkan mengingat kebijakan semacam ini juga diberlakukan bagi ASN di sejumlah negara, seperti Korea Selatan dan Australia.
Akan tetapi, alasan penerapan kebijakan ini masih menjadi pertanyaan baginya, yang salah satunya adalah untuk meningkatkan produktivitas atau kinerja ASN. Pasalnya, pemerintah mengakui bahwa ada 1,6 juta PNS yang tidak bekerja dengan baik ketika diberlakukan WFH.
“Kalau pengalaman dulu kita WFH di berbagai daerah itu ada sekitar 1,6 juta ASN yang tidak jelas kinerjanya seperti apa. Itu diakui sendiri oleh Kemenpan Reformasi Birokrasi , jadi bagaimana itu nantinya kalau itu sampai diberlakukan WFA,” ungkap Trubus kepada VOA.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah sebelum benar-benar mengimplementasikan kebijakan tersebut. Pertama, adalah terkait dengan pengawasan. Menurutnya, jika konsep WFA ini diberlakukan maka dibutuhkan pengawasan yang sangat ketat agar kelak pelayanan publik kepada masyarakat tidak terganggu.
“Kedua, apakah tidak kemudian itu bisa merusak citra PNS sendiri kalau kemudian nanti karena bisa bekerja dari mana saja, mereka bekerja di mall-mall, itu kan repot nanti dan tidak terkontrol. Ini jadi bagaimana prosedurnya nanti, karena ASN juga menanggung akuntabilitas publik, nanti pertanggungjawabannya bagaimana, karena mereka menggunakan APBN. Jadi harus mempertimbangkan itu,” jelasnya.
Dengan potensi pelanggaran yang cukup tinggi, katanya, pemerintah perlu memikirkan sanksi yang tegas kepada para pelanggarnya agar kualitas kerja tetap terjaga.
Sebab itu, kata dia, konsep bekerja dari mana saja untuk para ASN ini tidak bisa diberlakukan dalam jangka pendek di Indonesia. Butuh persiapan dan pembenahan dari berbagai aspek termasuk integritas, mental, budaya dan etos kerja dari ASN tersebut agar tidak menimbulkan masalah baru.
“Tentu untuk jangka menengah, jangka panjang bisa, tapi tidak semua bagian. Tapi ini bukan hal baru, karena di negara lain juga ada, hanya persoalannya di kita yang ruwet itu masalah budaya kerja, masalah moral hazard, integritas, karena rumitnya di kita banyak korupsi dan lain-lain terjadi pada tataran yang dimana sangat masif di kita,” pungkasnya.