RIAU ONLINE, BANDAR LAMPUNG-Aksi biadab justru dilakukan seorang kepala UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di Way Jepara, Lampung Timur, Provinsi Lampung. Pria yang mengepalai 'rumah aman' tersebut justru memperkosa seorang gadis, Nf (14).
Nf dititipkan orangtuanya untuk mendapat perlindungan dan pemulihan dari P2TP2A setelah menjadi korban pemerkosaan.
Ayah Nf berinisial Sy mengatakan, putrinya sempat tak mau mengakui diperkosa kepala P2TP2A Lamtim, saat dititipkan pada rumah aman lembaga tersebut.
Nf, kata Sy, hanya bercerita perihal rudapaksa tersebut kepada sang paman. Dari paman Nf itulah Sy baru mengetahui aksi keji kepala P2TP2A Lamtim.
Menurut pengakuan Nf kepada paman, ia awalnya takut membeberkan pemerkosaan itu karena mendapat ancaman dari kepala P2TP2A Lamtim.
Aktivis pendamping anak di Lampung Syafrudin mendesak dijatuhkannya hukuman berat bagi petugas P2TP2A Lampung Timur pelaku pelecehan seksual pada anak yang di bawah perlindungannya.
"Kasus pelecehan seksual kepada anak yang disinyalir dilakukan oleh oknum petugas P2TP2A Lampung Timur sangat miris, mengingat korban dititipkan di Rumah Aman yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman," ujar Ketua Harian Children Crisis Center (CCC) Lampung Syafrudin di Bandarlampung, Senin.
Ia mengatakan, dengan adanya kasus pelecehan seksual pada anak di lingkungan P2TP2A diharapkan pemerintah dan pihak berwenang dapat bertindak untuk memberikan perlindungan kepada korban.
"Korban masih di bawah umur, dan mendapatkan perlakuan tidak pantas dari pelaku, sehingga harapannya pelaku dapat di hukum seberat-beratnya sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak," katanya.
Ia menjelaskan, bila pelaku kekerasan seksual pada anak merupakan aparat pemerintah yang menangani perlindungan anak, maka hukuman pemberatan sanksi hukum harus dilakukan, agar hal serupa tidak terulang di kemudian hari.
"Bila sudah dinyatakan kalau pelaku kekerasan seksual dilakukan oleh aparat pemerintah yang menangani perlindungan anak kepada anak korban kekerasan yang seharusnya dilindungi, maka sanksi pemberatan harus diberikan, dengan penambahan hukuman sebanyak 1/3 dari ancaman pidana," ucapnya.
Menurutnya, peran pemerintah dalam menangani kasus ini sangatlah dibutuhkan untuk mencegah penurunan kepercayaan masyarakat kepada instansi terkait.
"Bila instansi yang seharusnya melindungi anak dan perempuan dari kekerasan, namun sebaliknya melakukan pelecehan kepada korban yang seharusnya didampingi, maka peran pemerintah harus ada untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat," ujarnya. Artikel ini sudah terbit di Suara.com