RIAUONLINE - Koalisi Buruh Sawit menyampaikan kekhawatiran pandemi Covid-19 dan surat edaran Menaker dijadikan alasan perusahaan untuk tidak melaksanakan kewajibannya.
"Dalam situasi pandemi covid 19, Koalisi Buruh Sawit menerima informasi ada perkebunan sawit di Kalimantan Barat menyatakan akan membayar THR secara bertahap. Di Kalimantan Timur, ada perkebunan sawit menyampaikan secara lisan kepada buruh bahwa perusahaan akan membayar THR dengan cara mencicil sampai bulan Desember 2020. Di Kalimantan Selatan ada perkebunan sawit yang menyatakan membayar THR secara bertahap sampai 8 kali. Kemudian sejumlah buruh harian lepas (BHL) perkebunan sawit di Bengkulu dan Sumatera Selatan telah menayakan THR kepada perusahaan, tapi sampai sejauh ini belum ada kejelasan. Situasi pandemi dikhawatirkan dijadikan alasan untuk tidak melaksanakan kewajiban membayar THR," kata Zidane.
Ismet Sinoni dari GSBI menyatakan surat edaran Menaker memberi perusahaan legitimasi untuk tidak menjalankan kewajibannya. "Penundaan atau pembayaran THR secara bertahap pasti merugikan buruh. Surat edaran itu tidak menjawab persoalan buruh disaat pandemi covid-19. THR sifatnya normatif, artinya tidak perlu dirundingkan, karena itu surat edaran tersebut harus dicabut. Pemerintah harus hadir menjamin buruh menerima THR 100 %, tepat waktu dan tidak bertahap," kata Ismet.
Ridho dari SERBUNDO menyatakan pemerintah mesti menjamin pemenuhan hak-hak buruh perkebunan sawit. "Industri sawit sampai hari ini tetap berjalan. Buruh tetap bekerja dengan target seperti biasa. Kita memahami dampak kesehatan dan dampak ekonomi pandemi Covid 19. Justru dalam situasi seperti itu pemerintah mestinya menjamin pemenuhan hak-hak normatif buruh perkebunan sawit. Anggaran THR itu sudah dipersiapkan di tahun sebelumnya, karena itu kewajiban rutin perusahaan, jangan jadikan situasi pandemi sebagai alasan tidak membayar atau mencicil THR," kata Ridho.
Koalisi Buruh Sawit menyatakan surat edaran Menaker memperburuk kondisi buruh perkebunan sawit, khususnya buruh harian lepas (BHL). "BHL yang mayoritas adalah kelompok yang paling rentan terkena dampak kesehatan dan dampak ekonomi karena minimnya fasilitas pelindung diri yang disediakan dan hubungan kerja yang mengharuskan mereka bekerja agar menerima upah (No Work No Pay). Dalam situasi normal saja, perusahaan perkebunan sawit kerap tidak membayarkan THR untuk BHL. Praktik tidak membayar THR untuk BHL banyak ditemukan Koalisi Buruh Sawit di perkebunan sawit. Kementerian Tenaga Kerja seharusnya menjamin pembayaran THR untuk BHL, bukan mengeluarkan surat edaran yang justru memberi ruang untuk perusahaan tidak melaksanakan kewajibannya," kata Zidane.