Pengalaman 5 Warga Diisolasi di Rumah Angker karena Ogah Dikarantina

Rumah-angker-yang-digunakan-untuk-isolasi-covid-19-di-Sragen.jpg
((Solopos/Tri Rahayu))

RIAU ONLINE, SRAGEN-Lima orang pemudik harus rela diisolasi di rumah angker ini karena mereka tepergok keluyuran saat seharusnya karantina di rumahnya sendiri-sendiri.

Pemudik di desa Sepat, Masaran, Sragen, menjalani isolasi di rumah angker. Mereka sudah hampir satu minggu diisolasi di rumah yang keangkerannya sudah tersohor di desa itu.

Diberitakan Solopos -- jaringan Suara.com, Selasa 21 April 2020, rumah angker di Sragen yang digunakan untuk karantina atau isolasi ini adalah salah satu gedung tua di pinggir jalan Sepat - Jirapan, Masaran.

Gedung dengan pagar besi itu merupakan eks gudang kerajinan tas milik Mulyono, warga Dukuh Wonorejo RT 011/RW 003, Sepat, Masaran.

Gedung itu sudah 8-10 tahun terakhir tak digunakan dan dibiarkan kosong. Warga memberi julukan gedung di Dukuh Pucuk RT 013/RW 004, Sepat, itu sebagai rumah berhantu.

Bangunan rumah isolasi yang terkenal angker di Masaran, Sragen, itu terlihat tua. Pintu depan terbuat dari besi seperti pintu garasi atau toko. Sebagian tembok terlihat retak-retak.

Gedung beratap galvalum itu terlihat tidak terurus. Di bagian belakang masih ditumbuhi rumput dan semak-semak liar.

“Dulu gedung ini pernah ditinggali adik saya. Tetapi hanya betah sebulan lalu pindah. Katanya kalau malam sering ada suara ketukan pintu dari belakang. Kadang juga ada bayangan hitam berseliweran saat malam hari,” ungkap Kepala Desa (Kades) Sepat, Mulyono kepada Solopos.

Gedung angker yang dijadikan rumah isolasi pemudik yang bandel di Desa Sepat, Masaran, Sragen, itu luasnya 10 meter x 10 meter dan menempati lahan 25 meter x 10 meter.


Kondisi rumah angker yang dipakai untuk isolasi pemudik 'bandel'

Baliho ditempel di dinding pagar rumah isolasi di Desa Sepat, Masaran, Sragen, Selasa (21/4/2020). (Solopos/Tri Rahayu)

 

Baliho ditempel di dinding pagar rumah isolasi di Desa Sepat, Masaran, Sragen, Selasa 21 April 2020. (Solopos/Tri Rahayu)

Gedung itu dibersihkan para sukarelawan Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Desa Sepat dua bulan lalu.

Di bagian luar pagar dipasang baliho atau MMT bertuliskan Rumah Isolasi Covid-19 Desa Sepat.

Rumah angker itu sengaja dijadikan tempat karantina khusus bagi pemudik yang membandel atau melanggar komitmen karantina mandiri 14 hari.

Di bagian dalam sebelah utara gedung dipasang tirai-tirai sebagai sekat antartempat tidur.

Tirai-tirai warna hijau itu seperti sekat di bangsal kelas III rumah sakit. Ada enam sekat tetapi hanya tiga ruang yang dipasang tempat tidur.

Antartempat tidur di rumah angker untuk isolasi pemudik Sragen yang bandel itu dipisahkan satu ruang kosong selebar 1,5 meter.



Sejak dibersihkan dua bulan lalu, rumah berhantu itu baru terisi mulai Kamis 16 April 2020.

Penghuni Pertama

Rokim, warga Pucuk, Sepat, menjadi penghuni pertama rumah lawas itu. Disusul Arie, warga Pucuk, dan terakhir Heri, warga Plosorejo, Sepat.

Penanggungjawab Rumah Isolasi Covid-19 Sepat, Hadi Mulyono, 49, berkisah tentang tiga orang penghuni rumah berhantu itu.

Dia menceritakan Rokim baru pulang dari Jakarta langsung datang ke Posko Covid-19.

Dia menandatangani komitmen karantina mandiri 14 hari. Pada hari kelima karantina, Rokim ketahuan keluar rumah.

"Kami panggil ketua RT dan yang bersangkutan dipanggil untuk diberi penjelasan. Awalnya masih beralasan. Akhirnya, Rokim harus tinggal di rumah berhantu dan memulai karantina dari nol per 16 April 2020 lalu,” kisah Hadi.

Pada hari yang sama, hanya hitungan jam, Arie ikut masuk menemani Rokim menjalani isolasi di rumah angker di Masaran, Sragen itu.

Hadi menerangkan Arie baru pulang dari Kalimantan. Setelah pulang ke Sepat di bekerja jualan kayu dan bambu.

Hadi mengungkapkan saat masa karantina mandiri di rumah baru berlangsung tiga hari, Arie ketahuan pergi ke Jamus dan Kerjo, Karanganyar.

“Awalnya ada teguran dulu tetapi tidak diindahkan. Akhirnya menghuni rumah angker ini dan karantina dimulai dari nol hari lagi,” ujarnya.

Selain Rokim dan Arie, giliran Heri Susanto menyusul. Heri ini baru pulang dari Lampung pada Jumat (17/4/2020) lalu.

“Kemarin [Senin], anak saya minta dibelikan mainan tenda-tendanan itu. Saya belikan ke Sragen Kota. Ternyata ketahuan sukarelawan Satgas Covid-19. Mereka mencari saya ke rumah. Akhirnya, saya dibawa ke rumah ini pada Senin [20/4/2020] lalu,” kata Heri Susanto kepada wartawan.

Bagaimana kisah mereka yang menjalani isolasi atau karantina di rumah angker ini? Simak di halaman selanjutnya ya!


'Semoga saya kuat tinggal di sini'

Heri mengaku lebih enak karantina di rumah karena bisa lihat anak dan istri. Selama tinggal di rumah isolasi angker itu, warga Sragen tersebut hanya bisa melihat anak dan istrinya di depan pintu gerbang pinggir jalan karena tidak boleh masuk.

“Saya imbau para pemudik taati aturan pemerintah. Jangan sampai ikut-ikutan menghuni rumah berhantu. Tempatnya kurang nyaman karena agak angker. Kalau tinggal di sini rugilah. Semoga saya kuat tinggal di sini,” ujar Heri.

Rokim dan Arie pun memiliki harapan yang sama agar bisa kuat dan betah tinggal di rumah isolasi itu.

Selama beberapa hari terakhir mereka belum pernah melihat penampakan-penampakan aneh di dalam rumah.

Mereka masih ditemani Satgas Covid-19 hingga pukul 24.00 WIB. Setelah pukul 24.00 WIB, Satgas menutup gedung itu dan mengunci pagar dari luar.

Kunci yang membawa Hadi Mulyono sebagai penanggung jawab rumah isolasi.

Membosankan

Aktivitas mereka selama di rumah itu cukup menjemukan karena monoton. Setiap pagi berjemur selama 15 menit.


Selain itu, mereka hanya ngobrol-ngobrol dan mainan ponsel. Selama masa karantina, kebutuhan hidup mereka ditanggung Pemerintah Desa (Pemdes) Sepat.

Di rumah isolasi bagi pemudik Sragen yang katanya angker itu, mereka mendapat makan dan minum cukup.

Untuk makan selalu diberikan tiga kali sehari. Disediakan dapur lengkap dengan sarana minum, seperti teh dan kopi serta gorengan.

“Mereka sengaja dikarantina di rumah khusus ini biar memiliki efek jera. Supaya para pemudik lainnya tidak membandel dan melanggar komitmen mereka sendiri,” kata Kades Mulyono.

Sejak adanya tindakan tegas tersebut, Mulyono mengatakan ada beberapa perantau yang hendak pulang tidak jadi pulang karena takut dimasukkan rumah berhantu.

Ada pula yang bertanya dulu ke posko sebelum pulang supaya tidak masuk ke rumah horor itu.

Dia mengatakan jumlah pemudik yang pulang ke Sepat hingga Selasa sebanyak 247 orang.

Jumlah pemudik itu baru 35% dari total warga Sepat yang merantau ke luar daerah.

Dia berharap cukup tiga orang yang menghuni rumah hantu itu sehingga tidak ada tambahan penghuni lagi.

Artikel ini sudah terbit di Suara.com