Tanpa Intervensi, Kematian Akibat Covid-19 di Indonesia Mencapai 2,6 Juta Orang//Puluhan Jenazah Pasien Corona Menumpuk di RS Wyckoff, AS Foto: REUTERS/Andrew Kelly
(REUTERS/Andrew Kelly)
RIAU ONLINE, JAKARTA-Berbagai protokol pencegahan telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk memperlambat penyebaran virus corona. Salah satunya dengan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah yang terdampak SARS-CoV-2.
Sudah banyak pula lembaga yang melakukan studi dengan berbagai model penelitian untuk memprediksi kapan puncak dan akhir pandemi virus corona di Indonesia terjadi.
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan para ahli matematika dari lintas perguruan tinggi Indonesia, di antaranya adalah Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Universitas Brawijaya (UB), dan Universitas Nusa Cendana (Undana).
Dipaparkan oleh Dr Nuning Nuraini, Kepala Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi ITB yang juga ikut dalam penelitian ini, untuk menentukan jumlah kasus, puncak, dan akhir pandemi di Indonesia, mereka menggunakan model SEIQRD (Susceptible Exposed Quarantine Recovery Death).
Dua hal yang akan dicari, pertama melihat bagaimana proyeksi dinamika kasus saat disimulasikan beberapa skenario intervensi, kedua menganalisis data provinsi kepadatan kasus COVID-19 tertinggi di Indonesia, serta provinsi mana saja yang memiliki persentase tertinggi untuk kasus tak terdeteksi.
Untuk menganalisis itu semua, tim kemudian melakukan pendekatan Basic Reproductive Number (R), dengan harapan nilai R harus kurang dari satu (R<1). Ini bisa dicapai dengan melakukan berbagai intervensi pemerintah.
Intervensi dari pemerintah dilakukan untuk mengurangi Reproduksi (R) virus. Langkah ini bisa juga dikatakan untuk mengurangi jumlah orang yang terinfeksi oleh setiap kasus yang dikonfirmasi. Mengurangi reproduksi virus berarti juga menetapkan "R" berada di bawah satu (R<1), dengan menjaga angka rata-rata penularan dari setiap kasus tetap kurang dari satu orang.
Dari perhitungan yang tim lakukan, berdasarkan pada kasus kematian antara satu hingga empat persen dan dihitung menggunakan estimasi nonlinear kalman filter, diperoleh simulasi kurang lebih satu orang (R) bisa menginfeksi tiga orang.
Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan hasil R<1, yakni mitigasi dan supresi:
Tujuan Mitigasi
memperlambat penyebaran, tapi angka reproduksi tetap di atas 1
tujuannya utamanya agar rumah sakit dapat menampung yang memerlukan
epidemi selesai apabila hampir seluruh penduduk terinfeksi dan terbentuk kekebalan kelompok (herd immunity)
Tujuan Supresi
Menekan laju penyebaran agar angka reproduksi di bawah 1
laju penambahan kasus baru akan terus berkurang hingga akhirnya penyakit hilang dari masyarakat
Setelah penyakit hilang, ada kemungkinan terjadinya gelombang kedua, ketiga, dan seterusnya.
Dari data-data yang telah dikumpulkan, dilakukan tiga skenario. Pertama, skenario tanpa intervensi; kedua skenario mitigasi; dan terakhir memakai supresi.
Hasilnya, jika tanpa intervensi, maka jumlah kematian akibat COVID-19 di Indonesia bisa mencapai 2,6 juta orang. Durasi epidemi diperkirakan berlangsung sekitar 4 hingga 5 bulan, dengan puncak kasus infeksi mencapai 55 juta orang pada Mei 2020, dan puncak kebutuhan ICU sekitar 6 juta orang.
Catatan: Terbentuk herd immunity atau imunitas kelompok sehingga tidak terjadi epidemi gelombang kedua.
Sedangkan jika mitigasi diterapkan pada 15 Maret 2020, maka jumlah kasus virus corona akan jauh lebih sedikit, kendati nilai R masih lebih dari 1 (R>1). Jumlah kasus kematian diperkirakan bisa mencapai 1,2 juta orang. Epidemi berlangsung selama 10 hingga 13 bulan, dengan puncak kasus infeksi 5,5 juta orang di awal Juli 2020, dan puncak kebutuhan ICU sekitar 600 ribu orang.
Catatan: Terbentuk imunitas kelompok sehingga terjadi epidemi gelombang kedua.
Sementara untuk skenario supresi yang jika dimulai pada 12 April 2020, maka nilai R bisa kurang dari 1 (R<1). Jumlah kematian ditaksir mencapai 120 ribu orang. Durasi epidemi 6 hingga 7 bulan, dengan puncak kasus mencapai 1,6 juta orang terinfeksi pada Akhir April atau awal Mei 2020, dan kebutuhan ICU 120 ribu orang.
Catatan: Ada kemungkinan terjadi gelombang kedua, ketiga, dan seterusnya.
Dari simulasi tersebut, terlihat intervensi dari pemerintah dengan cara menerapkan lockdown, physical distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Work From Home (WFH), dan upaya lain yang membatasi mobilitas warga bisa mengurangi angka penularan yang cukup signifikan.
Nuning mengatakan, yang terpenting dalam penelitian ini bukan melihat angka atau jumlah estimasi, tapi apa yang harus kita lakukan untuk mencegah skenario terburuk dari hasil penelitian yang sudah dilakukan.
“Fungsi esensial dari suatu model matematika epidemiologi adalah sebagai alat untuk mensimulasikan suatu strategi, juga merupakan cara untuk melihat potensi kondisi yang terjadi di masa yang akan datang. Dan bagaimana hal itu berubah akibat pilihan atau tindakan yang kita buat hari ini,” ujar Nuning.
Artikel ini sudah terbit di Kumparan.com