RIAUONLINE, BOGOR - Pemerintah telah menyerahkan naskah akademik dan RUU Cipta Kerja ke DPR. Penolakan terhadap Omnibus Law dari serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil tidak diacuhkan oleh pemerintah. Pada 30 Maret 2020, DPR menyatakan akan mulai bersidang. Ironisnya persidangan akan tetap berlangsung ditengah pandemi corona.
Inda Fatinaware Direktur Eksekutif Sawit Watch menyampaikan kekhawatiran Omnibus Cipta Kerja akan dibahas pada persidangan 30 Maret 2020 mendatang, “Pada 6 Maret lalu, Presiden melakukan pertemuan dengan beberapa pimpinan partai, salah satu yang dibicarakan adalah Omnibus Law yang akan dibahas pasca reses DPR. Kami khawatir di tengah pandemi corona, DPR akan menggelar sidang membahas dan menyetujui Omnibus Law Cipta Kerja. Pembahasan Omnibus Law di saat buruh perkebunan sawit dan elemen masyarakat yang menjadi korban dari kebijakan ini sedang menjalankan “physical distancing” adalah tindakan yang kontraproduktif. Kami meminta pemerintah menarik kembali usulan Omnibus Law yang telah diajukan ke DPR, DPR tidak melakukan pembahasan atas usulan tersebut”, kata Inda.
“Seharusnya pemerintah dan DPR menetapkan dan memprioritaskan kebijakan penanganan ancaman Corona diantaranya kebijakan perlindungan buruh perkebunan sawit dari ancaman corona. Sampai saat ini, buruh perkebunan sawit tetap bekerja seperti biasa. Sebagaimana kelompok masyarakat pekerja lainnya, buruh perkebunan sawit rentan terinfeksi corona, apalagi tanpa alat pelindung diri yang memadai. Buruh perkebunan sawit, terutama BHL (buruh harian lepas) yang mayoritas perempuan adalah kelompok yang paling rentan terpapar corona. Mereka pergi dan pulang kerja berhimpitan diatas truk penjemput, sementara fasilitas pelindung diri BHL tidak memadai. Pemerintah seharusnya mewajibkan perkebunan sawit menyediakan fasilitas pencegahan untuk semua buruh tanpa memandang status hubungan kerja”, jelas Inda.
Zidane, Spesialis perburuhan Sawit Watch menyampaikan, “Sampai sejauh ini belum ada tindakan kongkrit pemerintah untuk melindungi buruh perkebunan sawit. Kemnaker sampai sejauh ini hanya mengeluarkan surat edaran saja. Surat tersebut tidak menjamin buruh yang diliburkan karena ancaman corona tetap menerima upah. Apalagi jika yang diliburkan adalah buruh dalam hubungan kerja rentan seperti BHL dan buruh outsourcing”, kata Zidane.
“Terkait pencegahan, kami memperoleh informasi bahwa sudah ada perkebunan sawit melakukan pemeriksaan suhu tubuh buruh, ada pula perkebunan sawit yang melakukan penyemprotan terhadap kendaraan yang masuk areal perkebunan sawit. Namun apel pagi sampai sejauh ini masih diberlakukan, tentu ini sangat beresiko terhadap penyebaran virus. Kami belum ada menerima informasi bahwa sudah ada perkebunan sawit yang melakukan penyemprotan disinfektan terhadap areal pemukiman buruh. Keuntungan yang diperoleh perusahaan seharusnya bisa digunakan untuk memfasilitasi disinfektan, penyediaan sanitizer dan hal lain dalam rangka pencegahan penyebaran corona”, jelas Zidane.
Inda menambahkan, “Pemerintah mestinya menetapkan kebijakan yang berkekuatan hukum dalam rangka perlindungan buruh perkebunan sawit. Penyediaan fasilitas pencegahan sangat penting untuk meminalisir penyebaran virus. Kita tahu bahwa sarana kesehatan di wilayah perkebunan sangat minim, oleh karena itu langkah pencegahan harus dilakukan. Perkebunan sawit semestinya bertanggungjawab untuk melindungi kesehatan buruh, dan merupakan tugas pemerintah untuk memastikan itu. Kemudian, pemerintah memastikan tidak ada PHK atas buruh perkebunan sawit”, tegas Inda. (rilis)