Indonesia Dianggap Paling Buruk Menangani Virus Corona, Singapura dan Hongkong Terbaik

WASAPADA-VIRUS.jpg
(istimewa)

RIAU ONLINE, JAKARTA-Para ilmuwan dunia menyoroti kesiapan negara-negara di Asia Tenggara dalam menghadapi penyebaran virus corona. Mereka sepakat menyimpulkan, Singapura menjadi yang terbaik dan Indonesia sebaliknya.


Singapura mengumumkan kasus COVID-19 pertama kali pada 23 Januari 2020 silam. Saat ini jumlah penduduk yang terinfeksi di negara tersebut mencapai 455 orang. Dua orang diumumkan meninggal dunia, dan satu orang di antaranya diketahui adalah WNI. Sementara total penduduk yang berhasil disembuhkan mencapai 144 orang.


Asisten profesor penyakit menular National University of Singapore, Clarence Tam, menyebut Singapura dan Hong Kong telah menangani wabah virus corona dengan baik. Sebab, dua negara tersebut didukung dengan luas wilayah yang sempit serta jumlah penduduk yang relatif sedikit.

Oleh karena itu, mereka tak terlalu sulit dalam melakukan pelacakan kontak. 
Selain itu, mereka sudah berpengalaman dalam menghadapi epidemi SARS pada 2003. Itu artinya dalam kurun 15 tahun terakhir, baik Singapura maupun Hong Kong, telah memiliki kapasitas dan infrastruktur yang baik guna menangani wabah sejenis. 

Dalam mengukur tingkat persebaran virus corona kebijakan menutup atau membuka sekolah sempat menimbulkan perdebatan. Hong Kong telah menutup sekolah-sekolah tersebut sejak tahun baru Imlek. Sementara Singapura memutuskan untuk tetap membuka sekolah.


"Untuk COVID-19, saat ini kami tidak tahu berapa banyak anak yang berkontribusi terhadap penularan. Mungkin banyak kasus pada anak-anak yang tidak terdeteksi karena penyakit pada anak-anak cenderung ringan, tetapi kami juga tidak melihat banyak wabah di sekolah," kata Tam, seperti dikutip The Sydney Morning Herald.


Di luar Singapura dan Hong Kong, dua negara Asia lainnya, Taiwan dan Korea Selatan, juga dianggap cukup baik dalam mengendalikan wabah virus corona. Beberapa langkah penanganan yang diambil dianggap sebagai kunci keberhasilan pengendalian antara lain, menguji sejak awal secara luas, menerapkan isolasi yang efektif, serta penelusuran kontak dan karantina.




"Setiap negara yang belum dapat menerapkan langkah-langkah ini dengan cepat, untuk alasan apapun, berisiko tinggi penularan masyarakat yang tidak terkendali, seperti yang kita lihat sekarang di sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat," tambahnya.

Indonesia Dinilai Lambat Tangani kasus COVID-19
Sementara itu, Indonesia dinilai riskan dalam menghadapi penyebaran virus corona. Indonesia memang baru mengumumkan kasus pertama positif pada 2 Maret 2020 silam. Namun, dengan populasi penduduk sekitar 50 kali dari Singapura, jumlah kasus terus melonjak signifikan dan persentase kematian mencapai angka 9,3 persen. Hingga Senin (23/3), sudah ada 514 pasien dilaporkan terinfeksi COVID-19 dan 48 di antaranya meninggal dunia. Hal tersebut memicu kekhawatiran dunia internasional.


Dalam laporan The Sydney Morning Herald, pemerintah Indonesia dinilai telah menyangkal penyebaran virus corona selama berminggu-minggu. Indonesia baru hanya menguji sekitar 1.500 orang dari sekitar 270 juta total penduduk. Tentu jumlah tersebut terbilang rendah dari negara lain yang jumlah populasinya di bawah Indonesia. Contoh, Australia yang kurang lebih telah memberlakukan tes pada 80 ribu penduduknya, sementara Korea Selatan yang telah mengetes 250 ribu penduduknya.


Kiprah Menteri Kesehatan Indonesia, Terawan Agus Putranto, dalam menangani wabah COVID-19 juga mendapat kritikan. Saat virus corona telah menyebar dan menjadi perhatian serius masyarakat dunia, Terawan justru mengklaim doa dapat membebaskan Indonesia dari virus bernama resmi SARS-CoV-2 itu. Di sisi lain, Presiden Joko Widodo sebelumnya justru mendorong untuk meningkatkan kunjungan pariwisata karena Indonesia bebas virus corona. Langkah antisipasi COVID-19 di Indonesia pun dinilai terlambat.


Baru pada Kamis (19/3), Presiden Joko Widodo akhirnya memerintahkan pengujian ditingkatkan dengan cepat di seluruh negeri untuk mengendalikan dan memperlambat penyebaran virus corona. Namun, langkah tersebut pun masih dipertanyakan apakah dapat berjalan efektif dan cepat dalam mengendalikan penyebaran COVID-19.

Sementara dari kondisi di lapangan saat ini masih menunjukkan kontradiksi. Beberapa orang sakit dikabarkan sempat ditolak rumah sakit dan memerlukan waktu berhari-hari untuk dites corona. Pemerintah juga baru belakangan ini saja mengizinkan laboratorium di luar Kemenkes untuk melakukan pengujian.


Profesor virologi Universitas Queensland, Ian Mackay, menyoroti situasi di Indonesia saat ini yang dianggap berpotensi menyebabkan kondisi lebih buruk ke depannya. 
"Ketika Anda melihat banyak kematian dalam waktu singkat (seperti yang terjadi di Indonesia), itu menunjukkan ada beberapa kasus selama beberapa waktu. Juga, kami telah melihat banyak wisatawan yang terinfeksi keluar dari Indonesia sehingga itu bukanlah tempat yang aman dari virus corona," ujar Mackay. "Mereka (angka infeksi saat ini) hanya belum cukup diuji."


Tingkat kematian di Indonesia saat ini lebih tinggi daripada rata-rata internasional. Hal itu membuat dosen ahli politik Asia Tenggara di Griffith University, Lee Morgenbesser, paling mengkhawatirkan kondisi di Indonesia. 
"Dari semua negara di Asia Tenggara, Indonesia yang paling saya khawatirkan. Populasinya sangat besar dan birokrasi yang tidak efisien," kata Morgenbesser.

Morgenbesser menyebut Singapura telah terbukti berhasil mengendalikan wabah corona sedangkan negara lain di Asia Tenggara masih mengejar ketinggalan. Data per Senin (23/3) di Malaysia terdapat 1.306 kasus; Thailand 599 kasus; Indonesia 514 kasus; Singapura 455 kasus; Filipina 380 kasus; Vietnam 113 kasus; Brunei Darussalam 88 kasus; Kamboja 84 kasus; sementara Laos dan Myanmar masih mengklaim nihil kasus.


Namun, Morgenbesser sendiri tidak percaya dengan laporan otoritas Laos dan Kamboja. Transparansi pemerintah disebutnya menjadi kunci penting dalam mengendalikan wabah ini. 
"Ini adalah tes terhadap sesuatu yang tidak bisa kamu lihat dan kamu hanya punya sedikit kontrol. Yang diuji adalah seberapa transparan dirimu, akuntabel dirimu, dan seberapa efisien sistem yang telah kamu tempatkan," jelas Morgenbesser.

Artikel ini sudah terbit di Kumparan.com