RIAU ONLINE, JAKARTA-Muhammad Zilfikar Rahmat dan Dikanaya Tarahita dua orang penieliti asal Indonesia memiliki tulisan penting yang sudah terbit di South China Morning Post (SCMP) pada Minggu 22 Maret 2020.
Indonesia disebutkan akan tetap dihantui wabah virus corona bahkan ketika negara-negara lain telah bersih dari Covid-19. Keduanya mempertimbangkan kondisi geografis, sosiologis, dan politik di Indonesia, maka ada beberapa alasan yang membuat virus corona akan bertahan lama di negara tersebut.
Mengalihbahasakan dari SCMP, Suara.com meringkas beberapa poin dari tulisan Muhammad Zilfikar Rahmat dan Dikanaya Tarahita mengenai penyebab virus corona yang bisa bertahan lama di Indonesia.
1. Kondisi Geografis
Indonesia terbentang sekitar 2 juta meter persegi dengan kurang lebih 18.000 pulau. Kondisi ini memungkinkan banyaknya lokasi-lokasi yang terisolasi dan terpencil.
Banyaknya daerah terpencil ini yang sayangnya berpotensi membuat virus corona lama mewabah.
Hal ini karena infeksi di daerah-daerah tersebut sulit dideteksi. Bahkan deteksi pun akan membutuhkan waktu lama karena proses pengiriman spesimen.
Indonesia pada dasarnya dihadapkan dengan bom waktu. Jika gagal mengatasi krisis dengan segera, virus ini akan menyebar ke pulau-pulau terpencil di mana dapat membusuk, tidak ditemukan, dan tidak diobati selama bertahun-tahun yang akan datang.
2. Peluang Virus yang Disepelekan
Saat virus corona sudah berminggu-minggu menyerang China dan negara tetangga, orang-orang Indonesia masih santai dengan klaim bahwa mereka tidak akan terkena virus tersebut. Lebih lagi hal itu dimintakan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Menkes menyangkal penelitian Hardvard pada Februari yang menyatakan bahwa ada kemungkinan virus corona di Indonesia dan tidak terdekteksi. Ia malah mendeklarasikan, bahwa Indonesia bebas corona berkat doa.
Sekarang kenyataan mulai terjadi. Kasus corona meningkat setiap harinya, per Senin 23 Maret 2020 sudah mencapai 514 kasus. Sebagian besar kasus ada di Jakarta kemudian Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, Kepulauan Riau, dan lain sebagainya.
Mengingat rekam jejak pemerintah, mudah untuk percaya bahwa kenyataan di lapangan mungkin lebih buruk daripada yang dinyatakan.
Sebagian besar masalah adalah arogansi pemerintah pusat yang sejak awal belum cukup transparan, baik kepada masyarakat maupun pemerintah daerah.
Sangat lambat untuk memberi tahu pemerintah daerah tentang kasus yang dikonfirmasi dan upaya yang akan dilakukan untuk melacak penyakit ini.
Ada kebingungan di antara berbagai pihak berwenang tentang informasi yang paling mendasar sekalipun, orang dalam pengawasan atau pasien dalam pengawasan.
Hal ini membuat pemerintah daerah berjuang sendiri. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengungkapkan bahwa hampir 300 pasien dan hampir 700 orang sedang dimonitor untuk virus ini.
Pemerintah provinsi Jawa Barat juga mengatakan sedang memantau lebih dari 700 orang, sementara Kabupaten Banyumas memantau lebih dari 200 orang dan semua angka ini telah bertambah dari hari ke hari.
3. Kondisi Pengujian
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (berada di bawah Kementerian Kesehatan) sejak awal merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang memeriksa pasien untuk Covid-19, penyakit yang disebabkan oleh virus corona.
Lembaga ini mengklaim dapat memeriksa 1.700 sampel sehari. Namun pada hari Senin (16/3/2020), hanya 1.293 sampel telah diperiksa. Mengapa?
Bahkan ketika tes telah dilakukan, setiap pasien rata-rata membutuhkan tiga hari untuk mendapatkan hasil.
Hal ini disebabkan karena antrian panjang dan waktu yang diperlukan untuk mengirim spesimen dari daerah terpencil ke Jakarta.
Terlebih lagi, banyak orang yang memiliki gejala namun tidak datang ke rumah sakit karena tidak memiliki riwayat perjalanan atau kontak dekat dengan pasien positif.
Padahal para ahli mengatakan pertimbangan tersebut tidak lagi relevan karena corona di Indonesia telah masuk ke daerah-daerah.
Perlahan-lahan, negara ini mulai menyadari bahwa ada ratusan atau bahkan ribuan orang dengan virus yang tidak terdeteksi.
Indonesia harus belajar dari Korea Selatan. Dalam beberapa minggu pertama, Korea Selatan telah menguji hampir 8.000 orang.
Sedikit lebih dari seminggu kemudian, angka itu melonjak menjadi 82.000. Para pejabat kesehatan mengerahkan untuk melakukan tes sebanyak 10.000 orang setiap hari.
Untuk Indonesia, ini berarti pengujian harus didesentralisasi dari pemerintah pusat. Pemerintah setempat telah menyerukan agar setiap laboratorium regional yang memenuhi standar WHO untuk menyisir virus tersebut.
Pemerintah pusat lambat merespons. Pada awal pekan lalu, hanya ada 10 Pusat Kesehatan Lingkungan dan Teknik Pengendalian Penyakit secara nasional yang berwenang untuk menguji, ditambah dengan Laboratorium Universitas Airlangga dan Institut Biologi Molekuler Eijkman.
4. Nasib Daerah Terpencil
Beberapa daerah di Jawa mungkin bisa saja berjuang sendiri lawan corona tanpa ada bantuan pemerintah pusat. Namun untuk daerah-daerah terpencil khususnya di Indonesia Timur, mereka bisa-bisa kewalahan.
Saat ini infeksi virus corona di Indonesia memang terkonsentrasi di Jawa, namun kita tidak tahu yang terjadi di luar Jawa karena belum terdeteksi.
Cukup mengkhawatirkan kalau infeksi virus ini sudah mencapai ribuan pulau kecil di Indonesia bagian timur, perbatasan dengan Papua Nugini.
Kasus corona akan sulit terdetesi di daerah terebut karena fasilitas medis yang kurang ditambah dengan kesadaran yang rendah. Daerah-daerah timur Indonesia adalah daerah dengan fasilitas kesehatan termiskin.
Perbandingan dokter dan pasien sebesar 1 banding 6.250 padahal anjuran WHO adalah 1 dokter banding 600 warga. Di Indonesia, 60 persen pekerja kesehatan terkonsentrasi di Jawa.
5. Semoga Kabar Baik Sesuai Janji
Presiden Joko Widodo mengumumkan upaya pengujian besar-besaran di seluruh negeri, yaitu dengan Rapid Test. Kita hanya bisa berharap ini akan sesuai yang dijanjikan.
Kalau tidak, Indonesia mungkin akan berakhir melawan virus corona lebih lama, bahkan setelah semua negara lain di dunia sudah pulih.
Muhammad Zilfikar Rahmat merupakan peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Sedangkan Dikanaya Tarahita adalah penulis dan peneliti sosial ekonomi lulusan Universitas Manchester.
Artikel ini sudah terbit di Suara.com