Bertangan Besi, Imam Nahrawi Copot Pejabat yang Tolak Kasi Uang

Imam-Nahrawi.jpg
(Suara.com)

RIAU ONLINE, JAKARTA-Sewaktu menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi ternyata bertangan besi. Semua pejabat yang menolak menyerahkan uang dirotasi atau dimutasi.

 

Hal itu diungkapkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK Ronald Worotikan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (13/2/2020) kemarin.

Hal itu dikatakan Sesmenpora Gatot S Dewa Broto. Gatot bersaksi untuk asisten pribadi Menpora Miftahul Ulum yang bersama-sama dengan Imam Nahrawi didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp 11,5 miliar dan gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp 8,648 miliar.

"Pada BAP 19 saudara mengatakan bila permintaan Imam Nahrawi tidak diikuti pegawai Kemenpora, baik langsung maupun tidak langsung melalui stafnya maka Imam Nahrawi memberhentikan atau memutasi, contohnya Alfitra Salamm diberhentikan sebagai Sesmenpora karena menolak memberikan Rp5 miliar ke Imam Nahrawi. Imam Nahrawi juga mengirim surat ke Presiden untuk pemberhentian Alfitra namun sebelum ada surat dari Presiden, Alfitra sudah lebih dulu mengundurkan diri', apa ini benar?" tanya JPU Ronald Worotikan kepada Sesmenpora Gatot S Dewa Broto yang bersaksi untuk Miftahul Ulum selaku asisten pribadi Menpora Imam Nahrawi kala itu.

"Alfitra tidak pernah menyampaikan ke saya tapi kok semudah itu Alfitra Salamm mengundurkan diri, ternyata sebelumnya sudah ada permohonan surat ke Presiden untuk dilakuan pemberhentian," demikian jawab Sesmenpora Gatot S Dewa Broto.

Alfitra berhenti sebagai Sesmenpora pada Juni 2016. Selain Alfitra, pegawai Kemenpora lain yang mengalami mutasi karena menolak memberikan uang dialami oleh Kasubag Urusan Dalam Kemenpora Muhammad Angga.



"Ada saudara Angga, ya mungkin Angga kurang kooperatif dengan Pak Ulum karena keluhan dari saudara Angga, Angga dianggap tidak kooperatif memenuhi apa yang diminta oleh Pak Ulum," ungkap Gatot.

Menurut Gatot, Imam Nahrawi sendiri yang meminta dirinya membuat Surat Keputusan (SK) untuk Atun agar menggantikan Angga.

"Saya memperoleh informasi dari Pak Ulum, kemudian saya konfirmasi Pak imam Nahrawi apakah betul bapak mengusulkan Ibu Atun naik sebagai Kasubag Urusan Dalam karena saya sampaikan kepada Pak Imam bahwa yang bersangkutan (Atun) tidak punya kompetensi, tapi jawaban dari Pak Menteri, 'mohon untuk segera di SK-kan' begitu," kata Gatot.

JPU juga mengkonfirmasi apakah sekitar awal 2018, Miftahul Ulum menyampaikan kepada Muhammad Angga untuk secara rutin menyiapkan sejumlah uang untuk diberikan kepada Imam Nahrawi selaku Menpora, yang kemudian oleh Angga disampaikan ke Gatot.

Gatot karena tidak yakin bahwa itu adalah benar permintaan Imam Nahrawi kemudian menemui Imam secara langsung, untuk menanyakan perihal permintaan saudara Miftahul Ulum.

"Jawaban Nahrawi saat itu adalah yang bersangkutan atau Imam Nahrawi membenarkan bahwa permintaan saudara Miftahul Ulum kepada Angga atas perintah dan sepengetahuan Imam Nahrawi', betul ya?" tanya jaksa Ronald.

"Ya betul," jawab Gatot.

Sementara itu, Dalam perkara itu, Miftahul Ulum selaku asisten pribadi Menpora bersama-sama dengan Imam Nahrawi didakwa menerima suap totalnya sejumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Johnny E Awuy yaitu terkait proprosal bantuan dana hibah kepada Kemenpora dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan program Asian Games dan Asian Para Games 2018 serta proposal dukungan KONI Pusat dalam pengawasan dan pendampingan seleksi calon atlet dan pelatih atlet berpresetasi tahun 2018.

Sedangkan dalam dakwaan kedua Miftahul Ulum didakwa menerima gratifikasi berupa uang seluruhnya berjumlah Rp8,648 miliar dengan rincian Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy; uang Rp4,948 miliar sebagai tambahan operasional Menpora RI, Rp2 miliar sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (PRIMA) Kemenpora RI tahun anggaran 2015-2016; uang Rp1 milliar dari Edward Taufan Panjaitan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) program Satlak Prima 2016-2017 dan uang sejumlah Rp400 juta dari Supriyono selaku BPP Peningkatan Presitasi Olahraga Nasional (PPON) tahun 2017-2018 dari KONI Pusat. (Antara)

Artikel ini sudah terbit di Suara.com