RIAU ONLINE, JAKARTA-Anggota DPR RI dari Komisi VII, Muhammad Nasir meminta jatah corporate social responsibility atau dan CSR. Dia meminta itu saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi VII DPR RI bersama mitranya, PT Pertamina (Persero), Rabu 29 Januari 2020.
Hal itu disampaikan Nasir secara terbuka menjelang rapat ditutup, sekitar pukul 14.49 WIB. Kepada Pertamina, Nasir menanyakan kenapa bantuan dari Pertamina untuk daerah pemilihannya di Riau II belum juga datang.
"Ini kita sudah masuk sidang pertama, pulang ke dapil enggak bawa apa-apa. Jadi kita minta, apa kita buat polanya seperti tahun lalu, kira-kira seperti apa bu dirut?" kata dia bertanya kepada Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati.
Dia bahkan meminta Sekretaris Perusahaan Pertamina untuk dicopot saja karena dianggap payah kerjanya. Nasir ingin Sekper Pertamina seharusnya mencari para anggota DPR untuk pemberian dana CSR, bukan sebaliknya.
Siapa sebenarnya Nasir? Berikut kumparan rangkum profilnya.
Nasir merupakan politikus Senayan yang terpilih menjadi anggota DPR di Komisi VII untuk periode 2019-2024. Dia berasal dari Partai Demokrat dan dikenal sebagai adik dari eks Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazarudin, terpidana kasus suap Wisma Atlet.
Ini bukan pertama kalinya Nasir menjadi anggota DPR di Komisi VII. Pada periode 2014-2019, dia sudah menduduki kursi empuk komisi yang membidangi energi, riset teknologi, dan lingkungan ini.
Pada 24 Juli 2018, ia dilantik menjadi Wakil Ketua Komisi VII. Nasir menggantikan Herman Khaeron yang menjadi Wakil Ketua Komisi II.
Arifin Tasrif di RDP dengan Komisi VII
Suasana rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (27/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Menengok ke belakang, dia bergabung di Partai Demokrat sejak 2004. Sebelumnya, ia merupakan pengusaha dan aktif di asosiasi industri perkebunan dan peternakan.
Saat pertama kali bergabung ke Demokrat, Nasir dipercaya untuk menjabat sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Demokrat Provinsi Riau (2004-2009).
Karir politik Nasir semakin moncer. Di tahun 2009, ia diangkat menjadi Ketua Departemen Tenaga Kerja & Transmigrasi DPP Partai Demokrat hingga 2012.
Di tahun 2009 pula, Nasir maju dalam Pileg melalui Dapil Riau II dan terpilih menjadi anggota DPR periode 2009-2014. Saat itu, ia duduk di Komisi IX DPR yang membidangi tenaga kerja dan transmigrasi.
Pernah Berurusan dengan KPK
Pada Mei tahun lalu, Nasir berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga Anti Rasuah itu menggeledah ruang kerja Nasir di Komisi VII DPR dalam rangka penyidikan kasus dugaan gratifikasi yang diterima Bowo.
Penggeledahan dilakukan lantaran KPK mengendus Bowo menerima gratifikasi terkait pengurus Dana Alokasi Khusus (DAK). Kendati demikian, penyidik KPK tidak menyita barang bukti dari penggeledahan tersebut. Belum diketahui pula kaitan Nasir dalam kasus ini sehingga ruang kerjanya tersebut digeledah.
Sebelum terseret di pusaran kasus dugaan gratifikasi Bowo Pangarso, Nasir juga pernah diperiksa untuk kasus korupsi di KPK pada tahun 2011.
Kala itu, ia diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang menjerat istri Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni.
Dalam kasus PLTS, Nasir hanya sebatas saksi. Sementara Neneng sudah divonis penjara selama 6 tahun dan uang pengganti Rp 2,6 miliar.
Artikel ini sudah terbit di Kumparan.com