RIAU ONLINE, JAKARTA-Revisi undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK buat polemik. Sebab, dalam UU hasil revisi disebutkan KPK masuk dalam ranah eksekutif, dari yang semulanya Independen.
Kondisi ini dipertegas dengan munculnya draf Peraturan Presiden (Perpres) tentang Organisasi dan Tata Kerja Pimpinan dan Organ Pelaksana Pimpinan KPK. Isinya tak jauh beda, dalam pasal 1 disebutkan bahwa pimpinan KPK bertanggungjawab kepada Presiden selaku kepala negara.
Spekulasi bermunculan, sejumlah pihak menduga, apakah langkah ini merupakan upaya Presiden Jokowi menguasai KPK?
Terlepas dari itu, Pakar Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan bahwa ada kebingungan yang muncul dalam pasal 1 draf Perpres tentang KPK. Di samping itu, Zainal melihat pula adanya gejala pemerintah menarik kembali wewenang yang sudah diindependenkan di KPK.
"Kita sudah melangkah cukup jauh, dengan hasil yang cukup lumayan, (meski) tidak katakan luar biasa, tapi kenapa ditarik mundur," kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM itu, Senin 30 Desember 2019.
Berikut wawancara kumparan bersama dengan Zainal Arifin Mochtar seputar UU KPK hasil revisi hingga draf Perpres KPK.
Di draf Perpres KPK, di pasal 1 disebut pimpinan KPK berada di bawah Presiden langsung, setara menteri, mas memandangnya bagaimana?*
Ya memang kan penyakit pertamanya itu dari putusan MK ya, jadi tagihan ini seharusnya kita tagih juga ke Mahkamah konstitusi.
Yang tahun 2017 ya mas?
Betul (red: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017). Karena MK ini lain yang gatal lain yang digaruk putusan itu kan. Tiba-tiba saja keluar soal itu padahal putusan MK itu waktu itu bicara soal Undang-undang Susduk sebenarnya. Soal hak angket, tapi kok tiba-tiba ngomong KPK lembaga negara yang tidak independen gitu, yang berada di bawah Presiden.
Nah luar biasanya itu bertentangan dengan banyak putusan MK sebelumnya (Red: Putusan Mahkamah Konstitusi, tahun 2006, 2007, 2010, dan 2011), yang mengatakan KPK independen. Tapi kemudian, DPR dan Pemerintah cherry picking kan, dia ambil yang itu saja dan lalu keluarlah Undang-undang KPK.
Dan draf Perpres itu sebenarnya hanya melanjutkan cara pandang itu. Di mana draf Perpres itu lalu mengatakan bahwa KPK itu organ eksekutif berada di bawah Presiden walaupun menurut saya ini agak jlimet menurut saya. Organ Presiden, di bawah kendali presiden selaku kepala negara. Maksudnya itu agak, saya juga agak, agak membingungkan. Jadi ditaruh sebagai kepala negara itu maksudnya apa. Saya sendiri belum paham gitu.
Karena kan gini, ini agak teoritik, kalau bicara kepala negara dalam fungsi eksekutif dengan kepala negara dalam fungsi Presiden sebagai fungsi eksekutif dengan Presiden sebagai kepala negara, sistem Presidensil itu kepala negaranya lebih bersifat simbolik sebenarnya. Karena pada intinya sebenarnya kerjaannya ada di eksekutif. Kepala negara itu lebih bersifat simbolik.
ADVERTISEMENT
Nah ketika dia ditaruh sebagai kepala negara di bawah sebagai Presiden kepala negara, saya enggak ngerti ini maksudnya apa gitu. Saya jadi kurang ngerti maksudnya apa gitu.
rapat kabinet terbatas, Jokowi
Presiden Joko Widodo memimpin rapat kabinet terbatas di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (27/12/2019). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Kalau ditempatin di situ sebagai kepala Pemerintah gitu, akan beda?
Kalau kepala pemerintahan ya berarti dia betul-betul di bawah Pemerintah. Berarti organ eksekutif sifatnya. Ini kan saya melihatnya begini, pembentuk Perpres ini agak bingung termasuk pembentuk Undang-undangnya. Karena mereka mau mempertahankan sifat keindependenannya tapi kemudian dia mau taruh di bawah Presiden juga. Makanya keluarlah, rumusan yang agak aneh itu. Karena lembaga negara independen sebenarnya harusnya independen. Termasuk independen dari Presiden.
Tapi kok sekarang di bawah Presiden walaupun kemudian dia kunci di bawah Presiden sebagai kepala negara. Ini menurut saya agak membingungkan saya gitu, maksudnya di bawah Presiden sebagai kepala negara itu apa.
Dampaknya sendiri gimana mas, ketika nanti KPK di bawah Presiden?
Saya begini ya, Perpres itu kan masih draf, kita juga belum tahu substansi isunya sampai di mana nanti. Tapi poin saya adalah, kalau perspektif itu dilanjutkan, maka saya masih kebingungan bagaimana perspektif kepala negara itu, di bawah Presiden sebagai kepala negara itu perspektifnya bagaimana itu.
Karena pada dasarnya semua lembaga itu harusnya independen dalam kerja. Walaupun dia di bawah Presiden dia harus independen dalam kerja. Misalnya apa? Polisi dan kejaksaan. Dia langsung di bawah Presiden, ditunjuk oleh Presiden walaupun dengan pembicaraan tertentu dengan DPR. Tetapi dalam kerja dia harus independen.
Nah KPK itu enggak seperti dua ini. KPK itu diciptakan lembaga negara independen, yang memang Independen bahkan dari Presiden. Karena problem korupsi juga ada di tubuh eksekutif. Maka kemudian beda dengan jaksa yang dia posisinya sebagai pengacara negara. Beda dengan kepolisian yang dia ekspertisenya sebagai aparat, ASN awalnya sebelum kemudian menjadi aparat negara, Polri.
Menaruh KPK di bawah itu membingungkan buat saya. Mungkin sama dengan yang buat Perpres dan Undang-undang sendiri yang sedikit bingung dengan itu. Karena kalau untuk dijelaskan lebih detil itu akan lebih rancu. Misalnya kalau dia di bawah Presiden bagaimana sifat Presiden mengkooordinasikannya. Padahal di UU tidak ada korelasi yang terbangun. Kalau dikatakan bertanggungjawab itu hanya dengan melaporkan pertanggungjawabannya kepada presiden, lah wong dari dulu sudah begitu.
Berarti yang harus diperjelas itu diksi bertanggung jawabnya itu mas dalam pasal 1 ini?
Ya, korelasi antara Presiden dengan KPK jadinya apa tuh? Karena kan nomenklatur yang mengatakan di bawah Presiden, bertanggung jawab pada Presiden, berada di bawah Presiden sebagai kepala negara ini, nomenklatur yang menurut saya agak rancu. Sifat korelasi antara KPK dengan Presiden itu menjadi apa?
Kalau kita bilang pertanggungjawaban, bagaimana pertanggungjawabannya. Apakah pertanggungjawabannya hanya dilaporkan dan diserahkan saja. Ataukah pertanggungjawabannya juga bisa ditolak? Pertanyaan lanjutannya, kalau pertanggungjawabannya ditolak apa yang akan terjadi? Padahal proses seleksinya ada di pansel dan fit and proper test di DPR.
Kalau hanya sekedar melaporkan pertanggungjawabannya selama ini sudah begitu kan. Dilaporkan ke DPR, diserahkan.. kan sudah begitu.
Ini kan disebutkan kan pejabat negara setingkat menteri, apakah nanti mekanisme kerja akan sama seperti itu?
Kalau pejabat negara setingkat menteri itu kan bicara soal eselonisasi. Karena dia di bawah, masuk rumpun eksekutif, maka terpaksa ada eselonisasinya. Eselon tertinggi itu sebagai menteri. Jadi ditaruh terhadap setingkat menteri. Saya sih mengatakan itu hak protokoler dan keuangan saja. Nyaris tidak masalah di situ. Karena undang-undang masih mengatakan kalau menteri dipilih langsung oleh Presiden kalau ini (KPK) melalu fit and proper test dengan pansel dan DPR.
Jadi kalau frase itu tidak terlalu membingungkan buat saya. Saya tahu itu eselonisasi saja kepentingannya. Tapi ketika dia mengatakan bertanggungjawab terhadap Presiden, selaku kepala negara, ini menurut saya agak membingungkan. Apa maksudnya bertanggungjawab kepada kepala negara dalam bingkai kepala negara. Karena kepala negara itu biasanya bersifat simbolik.
Dan kalau kita bilang bertanggungjawab, maka pertanyaannya adalah bagaimana mekanismenya. Apakah hanya dilaporkan atau di dalamnya ikut Presiden menolak laporan. Karena kalau hanya sekedar dilaporkan untuk apa? Untuk apa ada kalimat bertanggungjawab kepada Presiden. Apa bedanya melaporkan pertanggungjawabannya lewat Presiden. Itu jauh lebih soft.
Terkait ini, sekarang banyak yang menafsirkan pak Jokowi jadi lebih powerful gitu, dengan menyimpan diksi tersebut (bertanggung jawab ke Presiden) di dalam Perpres, mas sendiri berpandangan seperti apa?
Memang ada dua, saya sudah tuliskan itu di tahun 2012. Ada gejala di mana, lembaga negara independen itu lahir dengan mengambilalih sebagian besar fungsi eksekutif. Lembaga negara independen itu kan selalu mencaplok fungsi eksekutif. Ditarik keluar lalu diindependenkan.
KPK lahir begitu. KY (Komisi Yudisial) itu dari fungsi Kementerian Kehakiman dulu kan, KPPU itu fungsi Kementerian Perdagangan dulu, KPI itu fungsi Departemen Pertahanan, kan gitu kan, jadi sebagaian lembaga independen negara itu lahirnya sebagian besar KPU misalnya lahir dari Dagri, dulu kan pelaksana pemilu itu kan Dagri, Kementerian Dalam Negeri. Lalu itu ditarik keluar dan diindependenkan.
Proses itu membuat lembaga lama itu sering mencoba menarik-narik lagi kembali, menarik lagi kembali dan saya pikir itu yang terjadi di KPK hari ini. Tesis itu makin terbukti, yang saya bilang itu tadi. Gejala mereka untuk menarik kembali kewenangan itu kembali kepada mereka. Memang kelihatan bahwa Pemerintah di kasus KPK itu menarik kembali wilayah yang sudah pernah diindependenkan dicoba dibawa masuk kembali kepada eksekutif.
Padahal saya sih berpikir tidak ada masalah kalau itu terjadi andaikata memang indeks korupsi misalnya di tubuh eksekutif sendiri sudah jauh berkurang. Pemberantasan korupsi sudah cukup mapan gitu. Nah tapi kalau tidak, pertanyaannya mengapa ditarik kembali. Kita sudah melangkah cukup jauh, dengan hasil yang cukup lumayan untuk tidak katakan luar biasa, tapi kenapa ditarik mundur.
Berarti mas menduga ini ada upaya memundurkan kinerja KPK, karena selama ini kita tahu setidaknya KPK berhasil menjalankan tugasnya?
Saya enggak tahu bahasa pasnya, saya tidak ingin jadi cenayang yang mencoba tahu isi hatinya Pak Jokowi. Membungkam atau apa saya tidak tahu, saya tidak ingin masuk ke situ. Tapi saya ingin katakan bahwa ada gerakan yang kaya membalik, entah untuk alasan apa. Kita sudah melangkah jauh tapi kemudian dibalik. Kita sudah melangkah cukup jauh tapi kemudian seakan-akan disuruh kebelakang. Alasannya apa? Wallahualam.
Tapi kalau hipotesanya seperti yang mas katakan berarti KPK sudah on the track, sekarang ditarik balik, otomatis ada 'sesuatu' kan yang terjadi?
Begini, kita enggak tahu apa alasan ditarik balik. Tapi dengan ditarik balik itu ada kemunduran, itu yang terjadi. Saya mengatakan KPK seharusnya sudah berada on the track kemarin independen, iya kan? Kerjanya juga cukup lumayan, apakah sudah luar biasa? Enggak juga, harus kita akui. Tapi cukup lumayan terbukti dari indeks, dari pengakuan internasional, dan pelajaran yang dunia pake kepada Indonesia.
Tapi kemudian Presiden menarik mundur undang-undangnya, mengobrak-abrik, membuat matahari kembar antara dewan pengawas dengan komisioner, kemudian menghilangkan fungsi penyidikan penuntutan dan lain-lain sebagainya, itu membingungkan menurut saya, kita sudah melangkah jauh ditarik mundur jauh sekali mundur, lalu disuruh melangkah awal lagi.
Itu bagi saya yang terjadi. Apa alasannya? Wallahualam. Saya enggak mau jadi cenayang. Eh jangan-jangan Pak Jokowi pengikutnya terlibat korupsi, jangan-jangan PDI yang pesan, wallahualam saya enggak pingin masuk ke sana.
Kalau dianalisa dari konstelasi munculnya UU KPK sendiri, bisa enggak mas masuk ke situ?
Kalau konstelasi itu begini, kita harus lihat bahwa legislasi itu kuasa Presiden lebih besar daripada parlemen. Kalau Anda baca disertasinya Saldi Isra itu kelihatan banget dia mengatakan bahwa walaupun pascaamandemen itu membesar fungsi kewenangan parlemen karena di pasal 20 ayat 1 itu dikatakan, kewenangan legislasi berada di tangan DPR, berbeda dengan UUD lama, yang katakan legislasi di tangan Presiden, ya kan? Tapi sebenarnya yang membengkak itu bukan kewenangan DPR tapi kewenangan Presiden.
Karena kewenangan yang mengatakan undang-undang itu hanya bisa jadi undang-undang kalau dibahas dan di setujui bersama dengan DPR. Artinya kalau Presiden tidak mau membahas bersama dan tidak menyetujui tidak akan jadi undang-undangnya. Dan itu veto yang tidak bisa diveto balik. Beda dengan Amerika yang vetonya bisa balik.
Nah, kalau legislasi dosa besarnya menurut saya ada di Presiden kalau undang-undang. Dosa besarnya. Kalau kejadian kemarin itu memang membingungkan sekali ya, Presiden tidak tanda tangan (UU KPK), harusnya ditanya apa alasannya Presiden tidak tandatangan. Kalau ada substansi yang keliru, harusnya diperbaiki, keluarkan Perppu. Kalau tidak ada substansi yang keliru kenapa dia enggak tanda tangan. Gitu kan.
Dan perlakuan berbeda itu antara undang-undang KPK dan KUHP. KUHP itu ditunda karena masih ada masalah yang harus diperbincangkan padahal hanya ada tiga, empat, poin dari ratusan pasal, itu hanya empat sampai enam poin lah yang harus dibicarakan. Bandingkan dengan undang-undang KPK yang hanya berisi beberapa pasal tapi hampir separuh lebih itu bermasalah. Tapi dia enggak merasa ada apa-apa gitu. Undang-undang KPK harus dilanjutin sedangkan UU KUHP disetop.
Di KUHP itu dia keluarkan vetonya ya dan DPR tidak bisa apa-apa gitu. Itulah bukti vetonya Presiden sangat luar biasa di tingkat undang-undang. Nah jadi kalau KPK itu memang dosa besarnya itu di Presiden. Harus diakui. Tapi bahwa Presiden tidak bisa menggodok undang-undang sendiri, harus dibahas dengan DPR, jadi DPR juga punya peran besar.
Nah kalau Anda tanya apakah konstelasi itu ada, pertanyaan saya konstelasi itu maksud Anda adalah partai atau Presiden. Atau kedua-duanya. Hehe. Bisa jadi kan. Kalau terjadi dua-duanya, wallahualam. Saya tetap tidak bisa paham. Saya tidak punya kapasitas untuk menduga-duga ada apa di sana.
Tapi bagaimana dengan pandangan sejumlah politikus yang memunculkan wacana kalau Pak Jokowi ini mencoba untuk mengendalikan beberapa institusi, bagaimana?
Saya sih melihatnya melemahnya cara dia memandang pentingnya penegakan korupsi dan penegakan hukum. Karena terbukti sekarang yang dipacu semua apa-apa ke arah ekonomi dan investasi. Lalu, dianggap pemberantasan korupsi, penegakan hukum dan HAM bagian periferal, bukan bagian yang utama.
Nah, padahal kalau kita lihat, ...ada banyak riset internasional soal tingkat korupsi dengan bisnis investasi atau apa itu, selalu ada korelasi antara penegakan hukum antikorupsi dan kemudahan, kemauan orang untuk lakukan investasi kan.
Saya enggak tahu siapa yang.. (bisikin?) Yaah, bisikin kah, atau cara pandang Presiden lahir dari mana wahyunya dari mana tiba-tiba datang di kepalanya, tapi saya melihatnya dia melupakan agenda pemberantasan korupsi, penegakan hukum dan hak asasi manusia. Karena yang dipacu sebelah sananya.
Dan Jokowi saya melihatnya untuk menutup kekurangan ini dia pasang orang yang punya pemihakan di wilayah itu. Makanya Menkopolhukam dia taruh Mahfud itu. Makanya untuk menutupi kekurangan dia merusak KPK ditutupi dengan dewan pengawas yang itu. Itu menurut saya cara berpikir Presiden yang terlihat secara langsung. Tapi apakah benar? Wallahualam, ini opini.
Apakah, tapi saya tidak akan berani tidak untuk mengatakan apa yang disembunyikan Presiden, apakah menutup-nutupi. Tapi saya melihatnya, kesan saya begitu. Jadi untuk membentengi dari kritikan terhadap politik hukum hak asasi yang itu melemah, dia menempatkan sosok tertentu yang saya duga bisa jadi bukan karena sosok tertentu atau apa tapi, mau jadikan bemper, atau shock breaker.
Tapi dia sudah dulu sistemnya sebelum masuknya orang itu?
Iya, maksud saya sistem itu sudah lain dulu baru kemudian dia taruh.. Itu yang saya katakan tadi, dewan pengawas ini orang-orang baik tapi ketika UU KPK ditarik dulu jauh ke belakang, lalu ditaruh orang-orang baik, itu kaya apa ya, kaya ngasih gula-gula lah ke orang-orang yang sudah marah. Ngasih gula-gula ke orang yang apa ya, jadi, suatu yang buruk itu dibungkus pake packaging yang menarik.
Begitu juga menurut saya di bidang politik hukum, politik hukum buruk banget, politik hukum Presiden di bidang hukum dan hak asasi manusia, antikorupsi yang lain sudah buruk tapi dia taruh orang menarik di situ. Dia taruh apa ya, kaya bungkus. Jadi substansinya hilang tapi dia tutup dengan packaging yang menarik gitu.
Artikel ini sudah terbit di Kumparan.com