RIAU ONLINE, JAKARTA-Mantan Gubernur Riau, Annas Maamun bisa bernafas lega setelah grasinya dikabulkan Presiden Jokowi. Masa penahanannya akhirnya dikurangi satu tahun.
Kabag Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Ade Kusmanto mengatakan, pemberian grasi kepada Annas Maamun karena alasan kemanusiaan.
"Pertimbanganya adalah berusia diatas 70 tahun. Saat ini yang bersangkutan usia 78 tahun, dan menderita sakitberkepanjangan," ujar Ade saat dikonfirmasi, Selasa 26 November 2019.
Selain karena usianya yang sudah senja, Annas Maamun juga mengidap berbagai macam penyakit. Menurut Ade, akibat penyakit yang dideritanya itu, Annas Maamun harus menggunakan oksigen setiap saat.
"Mengidap berbagai penyakit sesuai keterangan dokter, PPOK (COPD akut), dispepsia syndrome (depresi), gastritis (lambung), hernia dan sesak nafas(membutuhkan pemakaian oksigen setiap hari)," kata Ade.
Ade mengatakan, alasan-alasan kemanusiaan itulah yang dijadikan pertimbangan pemohon untuk mengajukan grasi kepada Presiden Jokowi.
Menurut Ade, berdasarkan pasal 6A ayat 1 dan 2, UU Nomor 5 tahun 2010, demi kepentingan kemanusiaan, Menteri Hukum dan HAM berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi tersebut.
"Selanjutnya presiden dapat memberikan grasi setelah memperhatikan pertimbangan hukum tertulisdari Mahkamah Agung dan Menteri Hukum dan HAM," kata Ade.
Sebelumnya, Jokowi memberikan grasi terhadap Annas Maamun. Jokowi mengurangi masa pidana Annas dari 7 tahun menjadi 6 tahun penjara.
Grasi tersebut berdasarkan keputusan presiden nomor 23/G tahun 2019 tentang pemberian grasi. Grasi itu ditetapkan tanggal 25 Oktober 2019.
Menurut data pada sistem database pemasyarakatan, Annas akan bebas awal 3 Oktober 2021, setelah mendapat grasi pengurangan hukuman selama 1 tahun diperhitungkan akan bebas 3 Oktober 2020.
Anas Maamun Kembali Diperiksa KPK
Menanggapi grasi presiden kepada Annas Maamun, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, pihaknya merasa kecewa dan mengecam langkah dari Jokowi.
"Presiden harus segera mencabut Keputusan Presiden yang memberikan grasi kepada terpidana Annas Maamun," kata Kurnia saat dikonfirmasi, Selasa 26 November 2019.
Dia menuturkan, pemberian grasi tersebut mesti dipertanyakan, sebab bagaimanapun kejahatan korupsi telah digolongkan sebagai extraordinary crime. Untuk itu, lanjutnya, pengurangan hukuman dalam bentuk dan alasan apa pun tidak dapat dibenarkan.
"Misalnya saja, Presiden berdalih karena rasa kemanusiaan sehingga mengeluarkan grasi kepada terpidana. Alasan itu tidak dapat dibenarkan, sebab indikator kemanusiaan sendiri tidak dapat diukur secara jelas," jelas Kurnia.
Dia menuturkan, perlu dipahami bahwa terpidana yang diberikan grasi oleh Presiden adalah seorang mantan kepala daerah yang awalnya diberikan mandat oleh masyarakat untuk menjadi Gubernur, namun justru kepercayaan yang diberikan tersebut malah digunakan untuk melakukan kejahatan korupsi.
Jadi, menurutnya, jika konsep penegakan hukum seperti ini yang diinginkan oleh Presiden maka pemberian efek jera pada pelaku korupsi tidak akan pernah tercapai sampai kapan pun.
"Langkah dari Presiden Joko Widodo ini mencoreng rasa keadilan masyarakat. Karena bagaimanapun pihak paling terdampak atas kejahatan korupsi yang dilakukan oleh terpidana adalah masyarakat itu sendiri," pungkasnya.
Artikel ini sudah terbit di Liputan6.com