RIAU ONLINE, YOGYAKARTA-Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas bereaksi keras terhadap mahasiswa Universiyas Gadjah Mada (UGM) yang menuntut persamaah hak atas tanah di Jogja. Pasalnya Felix Juanardo Winata, yang keturunan Tionghoa tidak bisa memiliki tanah di jogja yang sudah diatur dalam UU Keistimewaan DIY.
Saat dimintai komentar, istri Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X ini mengatakan bahwa aturan pertanahan di DIY itu sudah final dan seharusnya tak dipermasalahkan lagi.
"Ya enggak apa-apa, biar saja, Itu kan memang selalu dipersoalkan. Kalau mereka paham, bagaimana kedudukan UU Keistimewaan itu sudah final, jadi masalah pertanahan itu sudah masuk di dalam konstitusi yang di dalam UU Keistimewaan. Sebetulanya tidak perlu dipersoalkan lagi itu," kata GKR Hemas di Gedung DPD RI Perwakilan DIY, Jalan Kusumanegara, Kota Jogja, Kamis 21 November 2019.
Dilansir HarianJogja.com-jaringan Suara.com, GKR Hemas juga mengungkapkan bahwa DIY tak akan tinggal diam jika persoalan dilanjutkan.
"Kita lihat saja nanti kalau berjalan, ya kita tanggapi, masak kita diam saja," ungkap wanita 67 tahun ini.
Di samping itu, GKR Hemas juga memperingatkan penuntut untuk pergi dari Jogja jika menolak untuk menuruti aturan yang sudah berlaku.
"Waktu kemerdekaan, apakah Kraton [ketika] ikut dalam NKRI ini, apakah pernah minta ganti? Kan tidak pernah minta sesuatu, jadi jangan menuntut, kalau memang dia enggak mau tinggal di Jogja, silakan pergi," ucap GKR Hemas.
Sebelumnya, Felix Juanardo Winata, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), mengajukan permohonan pengujian pasal atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Pasal 7 ayat (2) Huruf d Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang mengatur kepemilikan tanah.
Gugatan dilayangkan karena Felix, sebagai warga negara keturunan, mengaku tidak bisa memiliki tanah di Yogyakarta. Dia harus mengubur mimpinya setelah permohonan ditolak, ketika ia ingin melakukan investasi atas tanah dengan cara membeli sebidang tanah di wilayah DI, dengan status hak milik.
Menurut Felix, larangan itu mendegradasi kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan melanggar UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria serta sebagai bentuk diskriminatif atas dasar ras dan suku terhadap WNI keturunan Tionghoa.
Artikel ini sudah terbit di Suara.com