RIAUONLINE - Wakil Presiden RI pertama Mohammad Hatta atau yang akrab disapa Bung Hatta dikenal gigih menimba ilmu sejak kecil. Tidak ada waktu baginya untuk bermain-main. Terlebih, ia ditempa di tengah keluarga yang disiplin, di Bukittingi, Sumatera barat. Saat memasuki masa sekolah, waktunya ia habiskan untuk belajar, pagi hari mengambil kursus bahasa Belanda, siangnya sekolah dan sorenya mengaji di surau.
Hatta kecil hanya dua tahun mengenyam pendidikan di sekolah rakyat. Saat pertengahan kelas III, ia kemudian pindah ke sekolah Belanda di Bukittinggi dan diterima di kelas II, sesuai tingkat pengetahuannya berbahasa Belanda. Hanya berselang setahun, Hatta lagi-lagi pindah sekolah ke Padang.
"Ada-ada saja yang terjadi yang menyebabkan aku pindah sekolah ke Padang pada pertengahan 1913," kata Bung Hatta, sebagaimana diceritakannya dalam buku memoir: satu abad Bung Hatta, terbitan 2002.
Di Padang, Hatta tinggal bersama ayah tirinya Haji Ning. Suasana berbeda ia rasakan saat tinggal bersama keluarganya di Bukittinggi. Orang-orang di rumah Haji Ning-yang merupakan saudagar-disibukkan dengan kerja masing-masing, tidak ada waktu bagi mereka memperhatikan pelajaran Hatta.
"Di Bukittinggi masih ada pamanku Saleh yang mengamat-amati pelajaranku, ada mak gaekku yang memperhatikan betul waktu aku bermain dan apa permainanku."
"Aku tak boleh pergi berenang ke sungai yang airnya jernih, ia takut aku hanyut. Aku tak boleh bermain sepak bola, dia takut kakiku patah. Sekarang aku bebas," ujarnya.
Hatta bebas mengatur waktunya sendiri, mengerjakan pekerjaan rumah tau bermain di luar. Namun ia tetap berada di rumah bila waktu makan, dan tidur sesuai waktu yang sudah ditentukan sekira jam 10.
"Aku boleh menontoton bioskop asal memberitahukan terlebih dahulu. Karena di rumah tidak ada kawan sepermainan, aku boleh pergi bermain-main dengan kawan sekolah atau sahabat-sahabat lama dari Bukittingi yang sudah di 'Voorklass' (Kelas pendahulu sekolah MULO)," katanya.
Di sekolah MULO Hatta mulai bermain sepak bola. Hampir setiap sore sudah ada di tanah lapang. "Kalau tidak main bertanding sebelas lawan sebelas, kami berlatih menyepak bola dengan tepat kedalam gawang, belajar menembak ke goal," katanya.
Hatta mengisahkan, dari sepak bola ia pertama kali masuk perkumpulan. Menggorganisasi rekan-rekannya karena bermain sepak bola sekurang-kurangnya mesti 22 orang. "Bola harus dibeli dan uang pembelinya harus dikumpulkan berangsur-angsur dengan jalan membayar kontribusi tiap-tiap bulan," ujarnya.
Hatta yang semula anggota biasa, lalu didorong menjadi pengurus. Pengurus terdiri dari 5 orang, Ketua, penulis, Bendahari dan dua orang komisaris. "Seorang komisaris dipilih dari orang yang menjadi captain permainan. Oleh karena aku suka bekerja memajukan perkumpulan, aku biasanya dipilih menjadi bendahari dan kemudian diminta juga merangkap jabatan penulis," dia bercerita.
Perkumpulan sepak bola Hatta bernama Swallow, hanya satu pemainnya yang merupakan orang anak Indo Belanda bernama George Scheemaker, ia berposisi sebagai kiper. "Dalam pergaulannya ia lebih suka dengan anak-anak Indonesia daripada dengan anak-anak Belanda," katanya.
Dari perkumpulan sepak bola itu Hatta mengaku banyak belajar mengatur organisasi, mengetahui tabiat anggota-anggotanya. Ada yang aktif ada yang pasif. "Yang aktif hanya sedikit, yang banyak menurut saja. Ada di antara anggota yang mempunyai berbagai cita-cita untuk memajukan perkumpulan, tetapi tidak mau menjadi anggota pengurus," ujarnya.
Hatta mengaku banyak memberikan perhatian pada perkumpulan sepak bolanya tanpa mengabaikan pelajaran dan waktu sekolah. Tanpa disadari, ia telah membagi waktu di luar sekolah antara pekerjaan rumah, bermain dan urusan perkumpulan.
"Dengan tidak setahuku tertanam dalam diriku sendiri disiplin sendiri. Mungkin pula dorongan ke sana diperkuat oleh kebiasaan bersembahyang lima kali sehari pada waktu yang ditentukan."