4 Tahun Pimpin Indonesia, Inilah Janji Jokowi-JK yang Belum Dipenuhi

Jokowi-bagi-sertifikat2.jpg
(ISTIMEWA)


RIAU ONLINE - 20 Oktober 2018 akan menjadi tahun keempat Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Sejumlah janji yang dituangkan dalam program Nawacita pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu belum terlaksana.

Menuntaskan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu, salah satu poin yang dijanjikan Jokowi melalui Nawacita. Bahkan dalam janji itu, Jokowi menyebutkan kasus-kasus yang akan dituntaskan selama masa pemerintahannya.

"Berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965," demikian bunyi Nawacita poin keempat Jokowi-JK, seperti dilansir dari CNN Indonesia, Jumat, 19 Oktober 2018.

Staf Bidang Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya mengungkapkan selama 4 tahun memerintah, Jokowi-JK gagal memenuhi janji nawacitanya dalam menuntaskan tujuh kasus pelanggaran HAM berat itu.

Dalam kasus Trisakti, Semanggi 1 dan 2 (1998) misalnya, pemerintah memilih jalur nonyudisial atau tanpa melalui peradilan. Hal ini disampaikan Ketua Komnas HAM (2012-2017) Imdadun Rahmat pada 2017 lalu.

Sementara itu, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Wiranto menyatakan bahwa jalur nonyudisial dipilih agar tidak menimbulkan masalah baru.

Akhirnya pemerintah memilih jalan rekonsiliasi yang sampai saat ini upaya tersebut belum terwujud. Penyelesaian ketiga kasus itu akhirnya belum jelas ujungnya.

Demikian pula dengan kasus dugaan pembantaian dalam peristiwa Talangsari pada 1989 lalu. Kasus ini diakhiri tanpa adanya kejelasan. Tragedi gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) tahun 1965 juga tak kunjung terungkap. Sementara, hanya kasus tragedi Tanjung Priok (1984) yang saat ini sudah selesai dengan menempuh jalur mediasi.

Menurut Dimas, janji Jokowi soal penuntasan kasus HAM masa lalu hanya sebatas retorika tanpa dibarengi langkah konkret di tingkat kementerian terkait.

"Dari perspektif pelanggaran HAM masa lalu janji itu sangat tidak ditepati atau pemerintah belum berhasil untuk merealisasikan janji politiknya," kata Dimas

Ia menilai beberapa faktor menyebabkan tak kunjung tuntasnya kasus pelanggaran HAM masa lalu di era Jokowi-JK. Pertama, karena faktor kultur impunitas yang masih tinggi.

Dimas menegaskan kultur impunitas yang tinggi itu masih tinggi karena Jokowi justru mengangkat beberapa pejabat yang diduga terkait dengan masalah HAM di masa lalu. Salah satunya, kata Dimas, Jokowi mengangkat panglima ABRI era Presiden ke-2 RI Soeharto, Wiranto sebagai Menkopolhukam pada 2016 lalu.

Wiranto seringkali dikaitkan dalam beberapa kasus pelanggaran HAM, diantaranya penyerangan markas PDIP pada 1996, penghilangan dan penculikan aktivis pro-demokrasi dalam rentang waktu 1997-1998, Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan 2.

Sosok lain yang kerap disebut terkait kasus HAM masa orde baru adalah Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) AM Hendropriyono. Ia diduga terkait kasus HAM Talangsari, namun secara terang-terangan mendukung Jokowi di Pilpres 2019 mendatang.

Namun, Hendropriyono menyebut banyaknya jumlah korban Tragedi Talangsari bukan akibat dari penyerbuan yang dia pimpin, melainkan karena warga di sana melakukan bunuh diri massal. Pada 2014, dia juga mengaku bahwa dirinya difitnah.

"Saya difitnah kasus Talangsari. Itu pertempuran, anak buah saya juga banyak yang mati. Asal bentrokan, dibilang pelanggaran HAM," tutur Hendro dalam rekaman wawancara dengan Jurnalis Investigasi asal Amerika Serikat Allan Nairn pada Desember 2014 lalu.

Menurut Dimas, pemilihan nama-nama itu menjadi salah satu alasan tidak terwujudnya nawacita Jokowi khususnya dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.



Selain itu, nyali dan keinginan politik atau political will mantan Walikota Solo itu dalam memberikan instruksi secara tegas kepada Kejaksaan Agung sebagai penyidik dan penuntut untuk menindaklanjuti berkas-berkas kasus pelanggaran HAM dipertanyakan.

"Selama ini Jokowi tidak secara tegas dan berani untuk menggunakan hak prerogatifnya untuk memberikan instruksi kepada Kejaksaan Agung," tutur dia.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Mohammad Choirul Anam juga memberikan penilaian senada. Ia menilai usai lembaganya bertemu Jokowi pada Juni 2018 lalu, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tidak pernah ada realisasi yang konkret.

Padahal, saat itu Jokowi sendiri mengatakan hasil pertemuan itu harus langsung ditindaklanjuti ke Kejaksaan Agung.

Menurut Choirul, perintah Jokowi kepada lembaga terkait seperti Kejaksaan Agung tidak efektif. Sebab, lembag-lembaga terkait itu sampai saat ini belum menindaklanjuti kasus-kasus itu meski sudah diinstruksikan oleh presiden.

"Implementasinya sampai sekarang enggak ada, presiden harus mengefektifkan perintahnya terhadap seluruh perangkatnya," ujar Choirul

Sebelumnya, Menko Polhukam Wiranto meminta agar tidak ada salah sangka bahwa pemerintah ingin menunda-nunda penyelesaian. Sampai saat ini, lanjutnya, pemerintah terus melakukan koordinasi antara Komisi Nasional HAM dengan Kejaksaan Agung tentang upaya penyelesaian baik secara yudisial maupun nonyudisial.

"Jangan sampai ada salah sangka bahwa pemerintah ini ingin menunda-nunda itu, mempetieskan itu, tidak. Tapi betul-betul kita ingin masuk jalur hukum ini bagaimana, kalau tidak bisa, nonyudisialnya bagaimana. Ini kan semuanya perlu satu penyelesaian yang baik," kata Wiranto, September lalu.

Dia juga menilai selama 4 tahun ini presiden seolah tidak berkeinginan politik untuk memenuhi janji-janjinya terkait HAM.

Namun setidaknya, Jokowi masih punya waktu sekitar satu tahun untuk memenuhi janji Nawacitanya tentang penuntasan kasus-kasus Pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dalam kurun setahun ini setidaknya Jokowi harus bisa membawa ketujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu ke pengadilan untuk diproses.

Meski masih punya waktu, Dimas pesimis, mantan Gubernur DKI Jakarta itu bisa menunaikannya dalam satu tahun. Pasalnya, ketujuh kasus yang disebut dalam Nawacita, ungkap Dimas, hingga kini prosesnya belum jelas.

"Apakah bisa menyelesaikan janji secara komprehensif untuk menyelesaikan kasus yang disebutkan di Nawacita? Jawabannya enggak mungkin karena prosedurnya sangat lama, baik prosedur yudisial maupun prosedur nonyudisial," papar Dimas.

Sebenarnya, proses nonyudisial bisa dilakukan dalam setahun. Misalnya, pelaku kasus pelanggaran HAM meminta maaf kepada para korban. Namun, menurut Dimas, apabila kasus-kasus itu diselesaikan dengan proses nonyudisial, korban pelanggaran HAM berat tidak akan mendapatkan hak-haknya atas kebenaran, reparasi, dan jaminan pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya di masa depan.

"Secara implisit negara mengakui ada pelanggaran, seharusnya dibarengi dengan penyelesaian melalui pengadilan," papar Dimas.

Rentetan Peristiwa

Tragedi 1965 diketahui terjadi pada rentang 1965-1966. Saat itu diduga telah terjadi pelanggaran HAM terhadap mantan pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pelanggaran HAM itu berupa pembantaian pemindahan, perbudakan, perampasan kemerdekaan, dan penghilangan paksa. Akibat tragedi itu setidaknya setengah juta jiwa melayang.

Kemudian Tragedi Tanjung Priok terjadi pada 12 September 1984. Pada saat itu terjadi kerusuhan dan bentrok antara warga dengan aparat keamanan yang dipimpin oleh Jenderal (Purn) LB Moerdani. Setidaknya 400 lebih orang tewas pada kejadian ini.

Sementara itu, Tragedi Talangsari terjadi pada 1989. Saat itu terjadi dugaan penyerbuan ke Desa Talangsari, Lampung yang dipimpin oleh Danrem Garuda Hitam 043, Kolonel Hendropriyono.

Serangan itu dilepaskan berdasar pada dugaan bahwa jamaah pengajian Talangsari pimpinan Warsidi ingin mengganti Pancasila dengan Al-Quran dan Hadits. Akibatnya 246 orang jemaat hingga kini dinyatakan hilang, perkampungan habis dibakar dan ditutup untuk umum.

Peristiwa selanjutnya adalah Tragedi Trisakti yang diketahui terjadi pada 1998 lalu saat mahasiswa Trisakti hendak melakukan aksi damai dan berunjuk rasa menuju Gedung DPR. Hanya saja aksi mereka diadang dan dipukul mundur oleh aparat keamanan.

Selain dipukul mundur mereka juga diduga dihujani peluru tajam dan mengakibatkan empat orang mahasiswa Trisakti tewas akibat tertembak di bagian vital.

Sementara pada tragedi Semanggi I (11-13 November 1998), setidaknya 17 warga sipil tewas karena diadang oleh aparat saat hendak berunjuk-rasa di Gedung DPR yang tengah berlangsung sidang istimewa.

Tragedi Semanggi II (24 September 1999), sebanyak 11 warga sipil dan satu orang mahasiswa tewas dalam upaya menentang pemberlakuan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB).

Lainnya, penghilangan paksa aktivis-aktivis Pro-Demokrasi terjadi pada pada rentang 1997-1998, saat Indonesia masih dipimpin pemimpin otoriter Soeharto. Pelaku yang menyebabkan korban tewas dan hilang masih belum diadili.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id