LAPORAN: IMELDA VINOLIA
RIAU ONLINE, JAKARTA - Petinggi Migas internasional ExxonMobil Raymond E. Jones dan IPA Board Director yang juga Managing Director Chevron IndoAsia Bussiness Unit Chevron Charles (Chuck) Taylor, menilai dalam mendorong investasi hulu migas membutuhkan kebijakan fiskal yang mampu mendukung margin keuntungan yang baik.
Dengan hal tersebut, investasi migas bergairah untuk menggelontorkan investasi yang lebih besar lagi secara berkelanjutan.
Hal ini dikatakan para petinggi migas tersebut pada diskusi hari pertama Plenary Session hari pertama Indonesia Petroleum Association (IPA), di Jakarta Convention Center, Rabu, 2 Mei 2018.
Raymond E. Jones mengatakan, dalam memutuskan investasi migas, perusahaan migas akan melihat dari sisi fiskal dan geologi.
Keduanya menjadi paling penting dalam melihat keberlanjutan bisnis di suatu negara.
"Dari sisi geologi, dalam mengebor bebatuan itu memiliki risiko teknis, dalam mendukung risiko dalam operasi dibutuhkan juga fleksibilitas dari sisi fiskal," ujarnya.
Raymond mengatakan, persyaratan fiskal yang lebih fleksibel bisa membuat estimasi dan prospek kemitraan yang bisa terjaga senantiasa.Kemudian, mendapatkan kemudahan dalam proses berhubungan dengan PT Pertamina (Persero), selaku perusahaan migas nasional Indonesia.
Di sisi lain, Chuck taylor dari Chevron membandingkan antara kebijakan operasi migas di Indonesia dengan Permian Basin, Amerika Serikat (AS).
Chuck menyoroti dengan sederhana dan lugas terkait skema kontrak baru yakni, bagi hasil kotor atau Gross Split yang diterapkan di Indonesia. Chuck dengan gaya lebih familiar didepan audiens yang rata-rata pengelola minyak tersebut menjelaskan, dalam skema kontrak di Permina Basin, pemerintah mendapatkan hasil bersih sekitar 28% sampai 30%. Dengan hitungan bagi hasil yang menarik untuk investor, Chevron mengklaim bisa mendorong produksi naik 35% menjadi 2 juta barel per hari. Ditambah lagi, dampak kepada ekonomisemakin luas. Cadangan bisa 30 juta barel. Untuk Indonesia skema cost recovery, porsi pemerintah justru jauh lebih besar yakni, 70% dengan iming-iming biaya operasional yang dikeluarkan kontraktor dikembalikan oleh pemerintah. Skema ini, menyebakan, investor sulit menentukan NPV [Net Present Value].Makanya, keputusan penggatian skema Gross Split ini diharapkan bisa membuat bagi hasil kepada kontraktor bisa lebih besar."Pergantian skema gross split menjanjikan bagi hasil yang lebih baik,"paparnya. Chuck menilai skema kontrak Gross Split ini menjadi salah satu arah yang baik untuk iklim investasi migas di Indonesia. Namun, Chuck menilai dengan skema cost recovery, bagi hasil untuk pihaknya sebagai contoh sekitar 88-12 sampai 60-40. Dengan Gross Split, besaran bagi hasil itu bisa lebih positif untuk investor walaupun tidak mendapatkan biaya pengembalian operasi. Kedua nara sumber ini menilai Indonesia sudah berbenah diri untuk membuat iklim investasi, terutama di hulu migas bisa menjadi lebih baik lagi. Misalnya, penerapan kontrak Gross Split dan penyederhanaan aturan. Turut juga Fred MacMahan dari Walker Chair of Economic Freedom Reasearch of The Fraser Institute dari Toronto, Kanada, yang membahas soal peta keadaan perkembangan bisnis migas dunia dan kedudukan migas Indonesia. Sementara moderator diskusi ini Bryan Christoper Land, dari Lead Oil dan Gas Specialist, Energy&Extratives Global Practice, World Bank Group.(2)