RIAU ONLINE, YOGYAKARTA - Dampak deforestasi sampai degradasi yang menghantui wilayah pesisir pantai Asia Timur, Asia Tenggara, Australia dan negara yang berada di laut Pasifik (Asia Pasifik), dikatakan oleh salah satu peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR), Hety Herawati dapat dicegah dengan cara menjaga keberadaan ekosistem hutan.
Menurutnya, hutan yang mampu menyerap karbon akan mampu menangani dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim seperti pemanasan global, kurangnya ketersediaan pasokan air minum, berubahnya curah hujan hingga naiknya temperatur air laut dan permukaan air laut.
"Hutan memiliki posisi yang penting dalam perubahan iklim karena hutan dapat menyimpan karbon. Merusak hutan, berarti mereka akan melepaskan karbon dioksida ke atmosfer," katanya di
Alana Hotel and convention cente, Selasa, 24 April 2018.
Dalam kondisi bumi yang mengalami perubahan iklim, hutan diharapkannya mampu beradaptasi dari segala bentuk perubahan iklim. Caranya ialah penduduk bumi tidak lagi memisahkan antara metigasi dengan adaptasi.
"Kita harus membantu hutan agar mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim. Hingga saat ini masih ada saja pemisah antara mitigasi dengan adaptasi. Contohnya misalnya hanya workshop metigasi saja. Tidak melibatkan adaptasi. Jika kita tidak membantunya, maka hutan akan sulit terhadap perubahan iklim," ucapnya kecewa.
"Isu mitigasi juga lebih populer dengan adaptasi. Itu perlu disenergikan. Kegiatan adaptasi dan metigasi itu saling mendukung dan keterkaitan," katanya.
Pada kesempatan yang berbeda, salah satu peneliti dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Haruni Krisnawati menuturkan bahwa hutan primer sering dianggap tidak mampu mencegah perubahan iklim.
Padahal setelah melakukan penelitiannya bahwa hutan primer berperan penting dalam memperbaiki kerusakan lingkungan. "Saya akan share hasil studi kami yang sudah dilakukan terhadap hutan primer. Sebelum melakukan kajian, hutan primer dianggap zero," jelasnya.
Menurutnya, anggapan itu karena hutan primer diasumsikan sebagai karbon netral sehingga kehadirannya tidak diperhitungkan. Padahal berdasarkan penelitian mereka bahwa hutan primer berfungsi sebagai karbon positif.
"Hasil penelitian kami bahwa ini berfungsi sebagai karbon positif, bukan netral. Hutan primer sebagai penyimpanan karbonsing selain dari menjaga stok karbon," imbuhnya.
Setelah dilakukan penelitian, hutan primer ini memiliki nilai mitigasi karena vegetasinya tidak terganggu sehingga berperan aktif dalam mencegah emisi untuk diteruskan ke atmosfer.
"Stok karbon dalam hutan itu mencapai 8.623 ton karbon pertahun di tahun 2012. 55 persen terdapat di tropical forest. Sementara untuk hasil kajian di tahun 2014, bahwa hutan ini menyimpan 30-70 persen karbon, baik yang memiliki daun pendek ataupun panjang," tandasnya.
Menurutnya hutan alam primer memiliki stok alam karbon yang tersimpan dalam vegetasi hutan hidup yang tersembunyi pada kayu-kayu tua. Namun sayang, hutan seperti ini malah rentan terhadap gangguan sehingga akibatnya tidak lagi dapat menyimpan karbon dengan baik.
"Penelitian jangka panjang kami dari tahun 1958-2015 menunjukkan bahwa hutan ini sangat rentan terhadap gangguan. Seperti ilegal loging sampai pembukaan hutan yang berakibat proses ekosistemnya akan terganggu," ucapnya kembali.
Gangguan itu berjarak di angka 400 meter dari wilayah yang sudah rusak. Sementara 400 meter dari wilayah kerusakan terjauh, hutan tidak akan tercemar dari gangguan.
"Contoh hasil analisa kita di Borneo, perubahan positif terjadi. Sementara di sisi lainnya ada penurunan pertumbuhan. Juga laju kematian di lokasi terdekat dengan gangguan akan lebih besar dari pada yang berada didalam hutan," tegasnya.
"Kalau hutan itu terjaga, dia akan memberikan kontribusi yang cukup signifikan. Fakta ini juga menunjukkan bahwa kemampuan hutan alam primer sangat luar biasa dalam metigasi perubahan iklim," tutupnya.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id