RIAU ONLINE, LOMBOK - Pernikahan dini di Desa Kuta, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) cukup tinggi dan sudah mengakar sebagai sebuah tradisi yang mendarah daging.
Praktik inilah masih menjadi PR besar bagi Ketua Lembaga Perlindungan Anak Desa (LPAD) Kuta, Tuan Guru L Abus Sulkhi Khairi. Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya pernikahan dini di kampung ini.
Diantaranya, rendahnya faktor pendidikan keluarga, serta budaya yang punya pengaruh besar akan hal itu.
Anak-anak sudah didoktrin sejak kecil. Seorang anak yang tanpa sengaja melewati sebuah rumah yang sedang ramai orang berkumpul, mereka akan ditanya 'kapan kamu menikah?'
"Mereka tidak ditanya pendidikanmu apa, cita-cita kamu apa, kamu mau jadi apa? Itulah yang terus berputar di masyarakat," kata Tuan Guru seperti dikutip dari Liputan6.com, Sabtu 24 Maret 2018.
Selain itu, hal lain yang memengaruhi tingkat pernikahan dini di Desa Kuta tinggi adalah merarik.
Menurut Tuan Guru, merarik adalah budaya 'menculik' perempuan untuk dinikahkan asal dilakukan di atas pukul 18.00 sampai sebelum azan Subuh berkumandang.
"Itulah saat orang untuk menikah. Di luar itu disebut penculikan."
Lebih lanjut, biasanya anak laki-laki ini akan datang ke rumah perempuan tanpa sepengetahuan keluarganya. Tidak peduli apakah sudah kenal maupun belum.
"Biasanya ini tidak mengenal anak-anak ataupun dewasa,"
Tuan Guru pun menceritakan contoh sederhana mengenai tradisi merarik tersebut. Misalkan ada seorang anak laki-laki bercerita ke temannya bahwa dia ingin menikah dengan seorang teman perempuan, walaupun konteks ini bercanda, akan dianggap serius.
"Mereka (teman si anak laki-laki tersebut) akan datang ke rumah perempuan. Lalu diambil (anak perempuan itu) ke rumah laki-laki,"
Nantinya pihak keluarga pria akan menyampaikan hal tersebut ke tokoh adat, untuk disampaikan ke pihak keluarga perempuan.
Tuan Guru juga mengatakan, kebanyakan orangtua perempuan tidak mau anaknya dikembalikan. Karena itu sebuah aib yang besar. Dan akhirnya, mereka terpaksa dinikahkan demi nama baik keluarga.
"Pernikahan itu di luar kemauan. Mereka tidak rela anaknya dikembalikan untuk nama baik keluarga," katanya.
Dampaknya, setelah menikah dan menjalankan biduk rumah tangga selama beberapa bulan, tidak sedikit dari mereka yang memilih berpisah.
Tuan Guru menjelaskan perceraian itu terjadi karena istri yang ditinggal suami saat mengandung. Anak yang lahir nantinya malah dititipkan ke keluarga seperti nenek, ketika sang ibu pergi menjadi buruh migran.
Untuk menghadapi praktik seperti ini, Tuan Guru bersama tim LPAD mendekati tokoh-tokoh masyarakat di sana untuk mengurangi tingkat pernikahan dini.
"Kami bergerak mencoba mendekati tokoh-tokoh adat di sana terutama karena di sana sangat kuat. Jadi dengan bahasa adat itu apakah benar pernikahan anak ini akan terus kita gaungkan atau perkuat dengan sisi adatnya. Apakah itu hal yang positif atau negatif. Dari pendapat yang ada, ini bukan adat yang positif," kata Tuan Guru.
Selain itu, menurut Tuan Guru, masyarakat juga sudah mulai sadar bahwa pernikahan dini bukanlah adat yang baik. "Karena mereka menyaksikan sendiri bukti yang ada."
LPAD juga melakukan mediasi jika terjadi pernikahan dini. Mereka melibatkan tokoh adat dan keluarga dua belah pihak.
"Sehingga dari 9 dari 25 kasus bisa kami selesaikan dan bisa sekolah kembali, yang itu tidak pernah terpikirkan, tidak pernah terbayangkan oleh kami dulu."(1)
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id