RIAU ONLINE - Sulitnya menghapus praktik perkawinan pada anak di Indonesia salah satunya dikarenakan adanya landasan hukum yang memungkinkan legalisasi perkawinan anak, yaitu UU Perkawinan Tahun 1974, khususnya pasal tentang batas usia.
Sebelum, Mahkamah Konstitusi telah menolak judical review atau uji materi pertama tahun 2015 dan kini sedang dilakukan upaya kedua. Pertanyaannya, mengapa sangat sulit untuk merevisi pasal terkait batasan usia dalam UU tersebut?
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise memberikan angin. Dalam rapat konsultasi di DPR Januari lalu Menteri Yohana mengutarakan bahwa saat ini ia tengah mendorong revisi UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama pasal yang mengatur batas usia perkawinan, guna menghapus praktik perkawinan anak.
“Saya sudah bertemu Menteri Agama yang memback-up saya untuk usulkan apakah perlu revisi atau Perppu. Revisi UU Perkawinan terkait usia, yang tadinya 16 tahun menjadi 18 tahun,” kata Yohana, melansir VOA Indonesia, Kamis, 8 Maret 2018.
Menteri Yohana mengatakan kementeriannya siap membuat kajian sebagai dasar perubahan UU Perkawinan itu dan mendorong seluruh elemen masyarakat mengangkat isu ini.
Sebelumnya upaya judicial review atau pengujian UU Perkawinan Tahun 1974 Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2 yang dilakukan tiga perempuan korban perkawinan anak, yaitu : Endang Wasrinah, Rasminah dan Maryati, menemui jalan buntu setelah Mahkamah Konstitusi pada Juni 2015 menolak dengan menggunakan dalil “open legal policy” atau kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang.
Ayat yang diajukan untuk diuji adalah ayat 1 pada pasal 7 yang menyatakan bahwa “perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun.”
Selanjutnya adalah ayat 2 pasal yang sama menyatakan “dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini maka dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.”
Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia Indry Oktaviani mengatakan kegagalan uji materi saat itu dikarenakan alasan moral yang digunakan majelis hakim.
“Jika melihat judicial review pertama.. Salah satu hakim Mahkamah Konstitusi bertanya “apa solusinya terhadap anak-anak yang melakukan seks bebas?” Jadi menurut saya sudah ada cara pandang yang kuat diantara para pembuat kebijakan bahwa jika anak-anak tidak segera dikawinkan maka akan melakukan seks bebas. Ini terasa sekali selama persidangan. Ada perdebatan yang tidak selesai karena definisi moral yang dipakai menggunakan moral orang dewasa, yang dasarnya adalah agama, yang kini menjadi sangat fundamentalis. Salah satu yang sulit dipecahkan oleh kawan-kawan pemohon di Mahkamah Konstitusi tahun 2015 dan menjadi pertimbangan dasar hakim adalah moral, yaitu moral agama, intinya tidak mau ada zina,” jelas Indry.
Indri mengaku sangat memahami hal tersebut karena itu hanya mengajukan uji materi atas ayat tentang batasan usia, bukan hal lain.
“Kenapa kita pilih jalan judicial review karena kita hanya ingin meminta hakim untuk menginterpretasi Pasal 7 Ayat 1 agar usia 16 tahun itu dibaca sebagai 18 tahun. Kita tidak ingin kutak-katik yang lain. Oleh karena itu kami pilih judicial review karena jika harus menunggu revisi atau amandemen UU Perkawinan 1974 dengan begitu banyak pasal berlapis, tidak akan selesai juga. Pengalaman kami pada tahun 2012, baru membaca Pasal 1 soal “perkawinan adalah” … sudah memancing perdebatan besar dan akhirnya ditutup tanpa pembahasan,” tambah Indry.
Sementara, judical review kedua sudah diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada 20 April 2017 lalu. Sebulan kemudian, tepatnya pada 24 Mei digelar sidang, dilanjutkan dengan revisi berkas permohonan pada 9 Juni oleh tiga pemohon uji materi itu sesuai masukan hakim Mahkamah Konstitusi.
Namun, hingga laporan ini disampaikan belum ada jawaban dari pihak Mahkamah Konstitusi, meskipun pada 18 Desember ketiga pemohon didampingi kuasa hukumnya telah kembali telah menyampaikan berkas permohonan.
“Dalam judicial review pertama yang menjadi pemohon adalah organisasi dan korban perkawinan anak yang punya anak. Tetapi kali ini kami ingin melihat hakim melihat langsung ke pemohon, dan secara psikologis bisa terketuk hatinya untuk melihat kenyataan,” harap Indry.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id