RIAU ONLINE - Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menggelar pertemuan dengan perwakilan dari industri pengolahan kayu Indonesia, pengusaha hutan, perusahaan perdagangan internasional dan kementerian. Pertemuan itu diadakan guna membahas kerjasama untuk meningkatkan akses pasar dan kegiatan promosi ekspor produk kayu bersertifikasi Indonesia, dimana saat ini Indonesia telah mengalami peningkatan volume produk kayu yang lestari, Selasa, 6 Maret 2018.
Acara ini dihadiri oleh lebih dari 100 peserta dari badan-badan sektoral (APHI), berbagai sektor kementerian antara lain Kementerian Perdagangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kemudian hadir pula organisasi pendukung, di antaranya Forest Stewardship Council, the Borneo Initiative, WWF, TFF. Serta, para pengusaha industri kehutanan, serta perwakilan dari pengolahan kayu industri dan pembeli internasional.
APHI meminta anggotanya untuk menerapkan praktik pengelolaan terbaik dengan menyiapkan sertifikasi FSC, skema sertifikasi hutan yang diakui secara internasional dengan mekanisme berbasis pasar untuk mempromosikan pengelolaan hutan lestari. Upaya tersebut diterapkan sebagai perwujudan komitmen untuk menghentikan kehilangan dan degradasi hutan.
Dengan dukungan dari organisasi mitra seperti The Borneo Initiative, FSC, WWF, TFF, TNC, dan WanaAksara Institute, terdapat 25 unit konsesi hutan alam Indonesia dengan luas cakupan 2,7 juta hektare dari target 3,1 juta hektare yang sudah memiliki sertifikasi FSC sejak 2010.
Saat ini, sebanyak 20 persen dari 14 juta ha konsesi alam aktif di Indonesia telah disertifikasi oleh FSC. Pertumbuhan ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan tercepat di kawasan tropis dalam sertifikasi FSC. Hal ini juga merupakan dorongan utama untuk program sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari Pemerintah Indonesia, karena perusahaan bersertifikat FSC lebih siap untuk memenuhi persyaratan SVLK juga.
"Hari ini (Selasa, 6 Maret 2018), kami merayakan pencapaian sertifikat FSC ke-25 kami di Indonesia, yang menghasilkan 2,7 juta ha di bawah pengelolaan hutan lestari," kata Anggota Dewan The Borneo Initiative, Jesse Kuijper.
Jesse Kuijper menerangkan sektor kehutanan di Indonesia mengalami transformasi yang signifikan, dengan penerapan standar tertinggi dalam pengelolaan hutan lestari. Ini merupakan kontribusi besar bagi target Pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi karbon dan pengembangan ekonomi hijau.
"Melalui acara ini, kami ingin meningkatkan kesadaran di antara pembeli kayu internasional yang semakin banyak mencari produk bebas deforestasi yang diproduksi secara lestari," jelasnya melalui siaran pers yang diterima RIAUONLINE.CO.ID, Kamis, 8 Maret 2018.
Direktur Program The Borneo Initiative, Wim Ellenbroek menambahkan peningkatan profil hijau sektor kehutanan Indonesia di pasar internasional perlu dilakukan secara kolektif. Sama halnya dengan kemitraan yang dilakukan pihaknya dengan organisasi lain dalam sertifikasi hutan. Menurutnya, The Borneo Initiative juga perlu bergabung sebagai organisasi dalam platform bersama untuk mempromosikan ekspor industri kayu bersertifikasi ini.
"Dengan slogan ‘Produk kayu bersertifikasi Indonesia: Berkelanjutan. Kualitas. Dijamin.’ Hal ini mencerminkan potensi produksi hutan Indonesia yang besar, yang didukung kualitas dan keandalan industri kayu Indonesia,” jelas Wim Ellenbroek.
Dalam hal ini, Vice Chairman APHI, Iman Santosa mengatakan bahwa setiap tahunnya hutan produksi Indonesia menghasilkan kayu yang legal dengan kualitas tinggi. Dengan kemajuan dalam pengelolaan hutan lestari dan sertifikasi hutan, menurutnya, hutan produksi ini dapat menjadi tulang punggung kebijakan ekonomi hijau di tingkat provinsi. Apalagi, produk hutan bersertifikat dan kegiatan sertifikasi PHL sejalan dengan upaya pemerintah untuk memperbaiki dan memperkuat akses dan ekspor ke pasar luar negeri.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id