Jelang Sidang PK, ini Curhatan Adik Kandung Ahok

Fifi-Lety-Indra.jpg
(Liputan6.com)

RIAU ONLINE, JAKARTA - Sidang Peninjauan Kembali (PK) terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berlangsung hari ini, Senin 26 Februari 2018 di Pengadilan Jakarta Utara.

Situasi seperti ini ternyata memberikan kenangan tersendiri bagi Fifi Lety Indra, adik kandung dari Ahok. Wanita yang kini menjadi pengacara abangnya ini pun mencurahkan isi hatinya melalui media sosial.

Pada akun Instagramnya, Fifi mengatakan beratnya menjalani sidang. Bagi dia, sidang kali ini seperti deja vu.

Dia pun menuliskan pendapatnya tentang dugaan terjeblosnya Ahok ke penjara hanya karena kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017. Dia kemudian berandai-andai, Ahok tidak maju dalam pesta demokrasi itu.

Fifi mengunggah curhatan tersebut sekitar pukul 02.00 WIB, Senin 26 Februari 2018. Dikutip dari Liputan6.com, pada dini hari itu, dia juga meminta doa dari simpatisan Ahok agar kebenaran terkait kasus penistaan agama yang menjerat kakaknya dapat terungkap.

"Banyak Yg Bilang gara2 Kursi Ini? Ehm....apa iya ....Kalau saja tdk ada Kursi Ini, mungkin tdk perlu Ada sidang2 ? uda kayak dejavu Jilid 2, Benar2 tidak enak harus sidang lagi. Doakan kali ini mata hati terbuka dan org2 mulai melihat sesunggunya Allah tidak tidur ( Mazmur 121) Amen," tulis Fifi.

Sidang PK Ahok digelar pukul 09.00 WIB. Adapun, hakim yang ditunjuk untuk memimpin persidangan adalah Mulyadi, dengan ditemani hakim anggota, Salman Alfariz, dan Tugiyanto.

Menurut Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jootje Sampaleng, agenda sidang adalah pembacaan memori berkas. Dia mengatakan, nantinya majelis hakim mengecek kehadiran antara penggugat Ahok dan tergugat, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara.

Apabila dinyatakan lengkap akan dilanjutkan tahap berikutnya dengan pembacaan memori berkas Pengajuan Kembali (PK).

Dia menyebutkan, salah satu isi berkas memori banding tentang alasan Ahok mengajukan PK. Ia melihat ada kehilafan hakim dalam memberikan hukuman terhadap Ahok.



Pada memori berkas itu pun, kuasa hukum Ahok menjadikan vonis hukuman Buni Yani sebagai referensi. "Salah satunya dengan membandingkan hukuman Buni Yani," ujar Jootje.
Kasus ini bermula ketika Ahok menyebut Surat Al Maidah Ayat 51 di hadapan warga Kepulauan Seribu pada 30 September 2016. Ahok dituduh menistakan agama. Pembicaraan Ahok itu kemudian tersebar luas di media sosial.

Habib Novel Chaidir Hasan melaporkan Ahok kepada kepolisian pada 7 Oktober 2016. Laporan Polisi Nomor LP/1010/X/2016 Bareskrim itu berisi laporan penghinaan agama. Ahok diduga telah melakukan tindak pidana penghinaan agama melalui media elektronik di YouTube.

Di tengah proses laporan itu, demonstrasi dan desakan dari masyarakat bermunculan di berbagai wilayah. Puncaknya terjadi di Jakarta pada 4 November 2016. Aksi besar-besaran itu membuat Ahok ditolak saat kampanye Pilkada DKI 2017 di sejumlah wilayah Jakarta.

Sebagian masyarakat menuntut polisi agar segera memproses perkara Ahok dengan tuduhan penistaan agama. Ahok pun berkali-kali bersedia menjalani pemeriksaan di kepolisian. Dia juga berusaha meminta maaf kepada masyarakat secara terbuka.

Akan tetapi, gerakan massa kian masif sehingga kepolisian menganggap hal itu sebagai gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Presiden Joko Widodo pun turun tangan. Ia menginstruksikan kepada Kapolri untuk segera memproses kasus Ahok dengan cara terbuka dan transparan.

Sebelas hari setelah aksi besar pada November 2016, polisi melakukan gelar perkara di Mabes Polri secara terbuka tetapi terbatas. Awalnya, gelar perkara itu terbuka untuk umum, tapi pada pukul 09.00 WIB tertutup hingga pukul 18.00 WIB.

Pada gelar perkara itu, kedua belah pihak, baik pihak yang melapor ataupun pihak terlapor diundang. Dari pelapor, hadir sejumlah ahli, termasuk di antaranya pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, yang lantang dan terus -enerus memimpin aksi massa besar-besaran.

Kompolnas dan Ombudsman juga hadir dalam gelar perkara itu. Namun, Ahok tak hadir dan diwakili penasihat hukumnya, Sirra Prayuna, serta sejumlah pengacara dan ahli. Ahli dari pihak Ahok bahkan datang dari luar kota.

Persidangan perdana Ahok berlangsung pada 13 Desember 2016 yang digelar di bekas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Pengamanan superketat pun dilakukan demi menjaga keamanan sidang.

Sidang perdana itu beragendakan pembacaan dakwaan Ahok. Ahok didakwa dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP karena diduga menodakan agama. Dakwaan itu ditanggapi kubu Ahok dengan nota keberatan atau eksepsi.

Pada sidang ke-19, Kamis, 20 April 2017, JPU menuntut Ahok bersalah. Atas nama hukum, jaksa meminta majelis hakim menghukum Ahok 1 tahun penjara dengan masa percobaan selama 2 tahun.

Majelis kemudian menghukum Ahok 2 tahun penjara. Ahok dinyatakan terbukti bersalah melakukan penodaan agama karena pernyataan soal Surat Al Maidah 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

"Menyatakan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan penodaan agama," kata hakim ketua Dwiarso Budi Santiarto, Selasa 9 Mei 2017. (1)

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id