Dari Sisi Intelejen, Orang Gila Ternyata Bisa "Dioperasikan"

Penghuni-Panti-Orang-Gila1.jpg
(RIAUONLINE/AZHAR SAPUTRA)

RIAU ONLINE, JAKARTA - Dalam kacamata intelejen, ternyata orang dengan gangguan mental atau kejiwaan alias orang gila, ternyata bisa dioperasikan untuk menjalankan sebuah misi tertentu. Termasuk misi teror maupun penyerangan terhadap ulama, yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia.

Seperti dijelaskan pengamat intelijen, Soeripto yang dikutip dari Republika.co.id, Sabtu 24 Februari 2018. Untuk melancarkan aksinya, orang gila memang tak bisa didoktrik seperti orang normal pada umumnya.

"Mereka bukan didoktrin, seperti orang waras, tapi mereka direkayasa suasana jiwanya, disentuh sisi emosinya," ungkap tokoh intelijen 'tiga zaman' ini.

Baca juga:

Penganiayaan Ulama Lagi, KH Mubarok Diserang "Orang Gila"

Pertanyakan Gangguan Jiwa Satriandi, Polisi: Kok Orang Gila Bisa Jalan-Jalan Ke Bali

Orang gila yang akan dioperasikan ini, kata Soeripto, dipelajari dulu dimana sisi emosinya tersentuh. Kapan orang-orang gila ini mudah terpancing, dan bertindak agresif dan kapan dia menjadi tenang.

Setelah dipelajari sisi emosinya, kemudian disentuh emosinya tersebut, hingga kemudian orang gila yang siap dioperasikan ini akan bertindak agresif. "Jadi, orang gila pun sangat bisa untuk dioperasikan," ujarnya.

Mantan staf Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) periode 1967-1970 ini mengatakan contohnya ada. Salah satunya, kasus pembunuhan Presiden AS John F Kennedy. Pelaku pembunuhan Kennedy, menurutnya, latar belakang kejiwaannya tidak stabil. Tapi pelaku berhasil membunuh Kennedy.

Secara nalar orang awam memang sulit diterima, bagaimana orang gila bisa menentukan targetnya. Tapi bagi Soeripto, dalam pengetahuan intelejen kemampuan observasi dan mengidentifikasi orang dengan tepat itu bisa. Dan setelah itu barulah mereka diprogram.



"Jadi sebelum mereka diprogram dan dioperasikan, mereka sudah dipelajari lebih dulu. Dan ketika dioperasikan, ternyata bisa berjalan beriringan di berbagai daerah. Ini berarti jaringannya berjalan baik," ujarnya.

Karena itu, diungkapkan dia, tidak heran bila kejadian penyerangan tokoh agama dan ulama ini terjadi berturut-turut dan tidak hanya terjadi di satu tempat. Dan tidak mungkin ini disebut kebetulan. "Pasti ada skenario dan rekayasanya," tegasnya.

Dan yang bisa melakukan hal semacam ini, menurutnya, adalah mereka yang punya kemahiran dan pengetahuan untuk melakukan operasi intelejen tertutup, bukan terbuka. Operasi terbuka biasanya dilakukan orang biasa, mereka memiliki pengetahuan secara umum.

Tapi kalau operasi tertutup dioperasikan oleh orang orang yang memiliki pengetahuan khusus, dan biasanya memiliki kemampuan operasi intelijen yang baik. "Jadi dari analisa deduktif spekulatif saya pasti ada yang 'ngerjain' artinya ada rekayasa," kata dia.

Walau benar secara medis penyerang didiagnosa gila, tapi dia bisa direkayasa melakukan penyerangan kepada pada orang-orang tertentu. "Bukan berarti saya menuduh lembaga intelejen terlibat disini," kata Soeripto menukas.

"Tapi, mereka yang mengoperasikan ini, bisa jadi memiliki kemampuan intelejen, dan memiliki kemampuan operasi tertutup."

Dan apa tujuan operasi ini?. Menurut Soeripto tentu tujuannya tidak lain untuk memberikan kepanikan dan ketakutan pada masyarakat. Karena dulu pun, menurutnya, hal seperti ini pernah terjadi, jadi cara seperti ini bukanlah hal yang aneh.

Senada dengan Soeripto, Koordinator Indonesia Crime Analyst Forum (ICAF) Mustofa B Nahrawardaya menyampaikan, tanpa ada yang menggerakkan, maka sangat tidak mungkin orang-orang gila bisa berkoordinasi seperti itu. Karena kasus-kasus yang terjadi memiliki pola yang sama, korban pun sama, dan pelaku juga demikian memiliki karakter sama, yaitu dianggap sakit jiwa.

Mustofa berpendapat ada ghost protocol yang sedang berjalan dalam kasus fenomena orang gila aniaya pemuka agama ini.

"Kemungkinan ada yang memberlakukan ghost protokol alias SOP liar. Tidak tersentuh aktor intelektualnya atau dalangnya. Bisa dirasakan ada dalangnya, tapi tak mudah menemukan posisi dan identitasnya," ungkap Mustofa.

Memang dalang dibalik strategi ghost protocol belum dapat diketahui meski bisa dirasakan keberadaannya. Dalam kasus kegilaan di Indonesia ini, kata dia, si aktor intelektualnya atau dalang ingin memberi pesan pada para musuhnya.

Pesannya, Mustofa menduga, agar tidak melakukan tindakan yang merugikan si dalang. Caranya dengan mengirim orang gila. "Sebagian yang dikirim berhasil memberi pesan luka, bahkan nyawa. Sebagian lagi gagal adanya," ujar dia. (1)

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id