Sebuah poster bergambar Ketua DPR Setya Novanto dalam aksi di depan Gedung KPK, Jakarta, Kamis, 14 September 2017
(Antara)
RIAU ONLINE - Berita mengenai tersangka korupsi yang sakit dan tak bisa memenuhi panggilan penyidik, seolah-olah sudah jadi berita biasa. Karena memang banyak para tersangka korupsi yang sakit dalam masa penyelidikannya.
Sebut saja, Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Ia tak memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) dengan alasan sakit. Dua kali KPK melayangkan panggilan pemeriksaan, dua kali pula Novanto tak memenuhi panggilan dengan alasan yang sama.
Tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP itu seharusnya menjalani pemeriksaan pada Senin, 18 September 2017. Dimana, dalam kasus e-KTP, Novanto diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun disetujui oleh DPR. Kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 2,3 triliun.
Pada panggilan pertama, Setya Novanto mengaku vertigo dan sempat pingsan setelah bermain pingpong di kediamannya. Ia pun menjalani perawatan di Rumah Sakit Siloam, Semanggi, Jakarta Pusat.
Sekretaris Jenderal Golkar Idrus Marham mengatakan gula darah Novanto sempat naik saat olahraga sehingga membuatnya pingsan.
Bersamaan dengan sakitnya, Novanto mengajukan praperadilan terkait penetapan tersangka.Melalui Pimpinan DPR, ia melayangkan surat kepada KPK agar penyidikan kasusnya ditunda karena ia tengah menempuh upaya praperadilan.
Ketika dipanggil kedua kalinya untuk diperiksa sebagai tersangka, Novanto kembali tak datang dengan alasan sakit.
Setelah vertigo, kali ini jantung Novanto yang bermasalah. Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini Partai Golkar Nurul Arifin mengatakan, Novanto harus menjalani kateterisasi karena gangguan jantung.
KPK telah mengirimkan tim dokter untuk memastikan kondisi kesehatan Novanto.
Selain Novanto, pengacara Otto Cornelis Kaligis pernah beralasan mengidap berbagai penyakit seperti jantung, diabetes, penyempitan syaraf, dan tekanan darah tinggi. Saat itu, Kaligis, yang menjadi tersangka suap terhadap hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, ditunda pemeriksaannya.
Kaligis juga sempat mengajukan gugatan praperadilan, yang akhirnya ditolak hakim. Kasusnya tetap berjalan, dan kini Kaligis tengah menjalani hukuman setelah divonis 5,5 tahun penjara oleh hakim. Pada proses banding, MA memperberat hukumannya menjadi 10 tahun.
Mengulur waktu
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, ada beberapa hal yang menyebabkan alasan sakit kerap digunakan oleh para tersangka kasus korupsi.
Pertama, tersangka hendak mengulur waktu dalam proses pemeriksaan, terutama bagi mereka yang tengah menjalani proses praperadilan.
Upaya mengulur waktu ini juga bagian dari strategi menghadapi proses hukum yang dijalani para tersangka.
"Atau ya sebenarnya menghindari upaya paksa dalam kasus tertentu misalnya (harus) ditahan. Ya pura-pura sakit aja. Padahal sebelum ada kasus korupsinya tidak pernah kita mendengar orangnya sakit," kata Adnan, seperti dikutip dari kompas.com, Selasa, 19 September 2017.
Kemungkinan lainnya, kata Adnan, bisa jadi tersangka mengalami stres karena tak pernah membayangkan dirinya akan terjerat kasus dan menghadapi proses hukum.
Ia mengatakan, para tersangka yang biasanya penguasa, merasa kaget saat harus menghadapi proses hukum.
"Apalagi biasanya mereka kan hidup dengan sesuatu yang serba tersedia. Serba ada. Dari segi status sosial juga baik, reputasi juga baik, kekuasaan juga ada di tangan. Tiba-tiba semuanya hilang karena misalnya jadi tersangka," kata Adnan.
Hal tersebut, kata dia, juga bisa memicu serangan jantung atau membuat kondisi fisik seseorang menurun.
Namun, Adnan mengatakan, untuk menghadapi situasi itu, penegak hukum harus memiliki dokter ahli agar bisa membuktikan alasan sakit si tersangka.
"Jadi memang ada yang faktual gitu ya. Karena itu tadi, tidak siap secara mental untuk menjadi tersangka. Tapi ya ada juga dan kami temukan juga alasan sakit itu untuk mengulur waktu sehingga memang penegak hukum itu harus ada dokter juga yang ahli," kata Adnan.
Saat ditanya apakah ada motif untuk memunculkan rasa iba, Adnan menjawab hal itu juga mungkin saja menjadi salah satu alasan.
Akan tetapi, menurut dia, motif sakit itu sia-sia karena bukan rasa iba dan simpati yang didapatkan melainkan kecaman dari masyarakat.
"Pada prinsipnya sih lebih baik dihadapi supaya juga cepat. Karena juga enggak enak kan lama-lama menyandang status tersangka. Apalagi tetap menjabat," lanjut dia.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id