(INTERNET)
Senin, 11 April 2016 16:15 WIB
Editor: Fakhrur Rodzi
(INTERNET)
RIAU ONLINE - Jauh dari hiruk-pikuk media massa dan warga Indonesia, misi penyelamatan sandera yang ditawan oleh milisi Abu Sayyaf di Filipina Selatan, pada 2005 silam, patut diberi apresiasi serta dicontoh oleh pihak berwenang.
Ketika itu, tahun 2005, tiga anak buah kapal (ABK) Kapal Bongaya 91 diculik dan disandera kelompok bersenjata tersebut. Kemudian, digelarlah operasi 'tertutup' dengan melibatkan personel pilihan dari TNI, Polri, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Inteligen Strategis (Bais).
Seorang di antara prajurit yang mendapat tugas tersebut adalah Inspektur Jenderal (Purnawirawan) Benny Joshua Mamoto. Ia menceritakan, ketika itu, tiga ABK disandera. Awalnya, dua berhasil dilepaskan dari penyanderaan, namun satu orang lagi dibawa lari milisi ke dalam hutan-hutan.
Baca Juga: Siapakah Kelompok Militan Abu Sayyaf?
Walaupun situasinya tidak sama persis, operasi pembebasan Ahmad Resmiadi, ABK tersebut pada Maret 2005, dapat dijadikan pelajaran dalam upaya pembebasan 10 WNI oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina selatan, saat ini.
Mantan Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) itu menceritakan, proses pembebasan sandera membutuhkan waktu sangat panjang, kesabaran, ketelitian, fokus dan koordinasi antarinstansi terkait.
"Harus ada kendali, tidak boleh jalan-jalan sendiri, sehingga dengan mudah progress (kemajuannya) dan arahnya bisa dikontrol," kata Benny, seperti dilansir dari bbc.com, Minggu, 10 April 2016 malam.
Baca Juga
Benny Mamoto ditunjuk Kapolri (saat itu) Jenderal Da'i Bachtiar, untuk membantu operasi bersifat "rahasia". Mereka ditugaskan membebaskan tiga ABK Kapal Bonggaya 91 yang diculik kelompok Abu Sayyaf. "Dari penyanderaan sampai dengan operasi militer itu (memakan waktu) tiga bulan," ungkapnya.
Klik Juga: Saat Kontak Senjata 10 WNI yang Disandera Tidak di Basilan
Pada 30 Maret 2005, tuturnya, tiga WNI mulai disandera, dan operasi militer Filipina digelar nyaris tiga bulan kemudian, 12 Juni 2015 dan membuahkan hasil. Dua WNI yang disandera berhasil dibebaskan. "Tapi dua agen mereka (Filipina) dibunuh," ungkap Benny.
Sedangkan satu sandera lainnya, Ahmad Resmiadi, dibawa kabur kelompok penculik Abu Sayyaf ke dalam hutan. "Setelah itu, Filipina janji satu minggu akan ada operasi militer, tapi saya tunggu seminggu, dua minggu, hingga sebulan, tidak ada berita. Mulailah saya turun," jelasnya.
Walaupun tidak bersedia menjelaskan detail teknik operasi pembebasannya (yang disebutnya bersifat "tertutup"), Benny mengatakan, ia langsung bernegosiasi dengan kelompok penculik selama tiga bulan.
"Hingga 9 September 2005, kita akhirnya berhasil membebaskan Ahmad Resmiadi," katanya.
Berdasarkan pengalamannya tersebut, Benny kemudian membagi apa yang bisa diterapkan saat melepas 10 WNI yang disandera Abu Sayyaf. Ketika itu, jenderal asal Sulawesi Utara ini berperan sebagai negosiator.
Lihat Juga: Belasan Militer Filipina Tewas dalam Penyerangan Benteng Abu Sayyaf
Benny mengatakan, kelompok penculik yang menuntut tebusan, biasanya akan menekan, meneror dan mengancam keluarga, perusahaan serta pemerintah dari pihak sandera.
"Maka, dari pengalaman saya, negosiatornya harus satu pintu. Boleh satu orang, satu tim, tetapi satu pintu," ungkapnya.
Dengan demikian, jelasnya, kelompok penculik tidak dapat meneror kepada pihak manapun karena sudah disepakati untuk kontak kepada satu pihak saja. "Dengan satu pintu, kita bisa mengarahkan dia (penculik), bisa mengendalikan dia, bisa mempengaruhi dia, sehingga kemauan kita yang dituruti dan bukan kemauannya," kata Benny bercerita.
Kepada keluarga sandera, pemerintah harus bisa membuat mereka tenang dan tidak panik. "Saya dulu membangun komunikasi yang baik dengan keluarga agar mereka tahu day by day kemajuannya," tuturnya.
Sambil operasi berjalan, Tim Gabungan terus mengenali penculiknya dan mengecek terus kondisi kesehatan sandera. "Dalam berkomunikasi dengan penculik, gunakan isu-isu menyentuh. Bagaimanapun mereka manusia," ujar Benny.
Dimintai komentarnya tentang proses pembebasan terhadap 10 WNI yang saat ini disandera kelompok Abu Sayyaf, Benny mengatakan langkah pemerintah Indonesia sudah tepat. "Diplomasi diutamakan, ibu menlu sudah turun ke Filipina, instansi terkait sudah berkoordinasi untuk lobi dan pertukaran informasi," katanya.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline