Masyarakat Sipil Indonesia Menagih Komitmen Presiden Jokowi Soal SDGs

jembatan-indiana-jones.jpg
(INTERNET)

 

RIAU ONLINE, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia menagih komitmen pemerintah melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/ SDGs), pascapenandatangan di New York dalam Sidang Umum PBB (25-27 September 2015) lalu.

 

“Presiden Joko Widodo harus memimpin langsung implementasi SDGs sebagai bentuk keseriusan pemerintah,” kata Muhamad Ilham Saenong, Direktur Program Transparansi Internasional Indonesia dalam konferensi pers pertemuan nasional Koalisi Masyarakat Sipil untuk SDGs, Rabu (7/10/2015).

 

Ia menilai, jika implementasi di bawah Bappenas seperti yang disampaikan pemerintah selama ini, pelaksanaan SDGs tidak akan berhasil karena Bappenas merupakan lembaga teknis perencanaan pembangunan. Untuk memperkuat komitmen itu, Ilham mengatakan, presiden perlu mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) mengawal SDGs.

 

Selama dua hari, sekitar 130 perwakilan organisasi Koalisi Masyarakat Sipil melangsungkan pertemuan di Hotel Aryaduta, Jakarta, 6-7 Oktober 2015. Salah satu agenda pertemuan ini adalah mengkaji dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang telah dibuat pemerintah apakah cukup mengadopsi SDGs. (BACA JUGA: Hari Ini Jokowi akan Kunjungi Jambi, Padang dan Pekanbaru)

 

Hamong Santono, Senior Program Officer untuk SDGs INFID mengatakan dalam konteks pembangunan nasional dan daerah, komitmen presiden menjalankan SDGs dapat menjadi titik tolak untuk mengubah paradigma pembangunan agar lebih fokus pada pemenuhan hak-hak dan martabat manusia, keberlanjutan bumi, mengharmoniskan kemajuan antara teknologi, ekonomi, sosial, dan alam, serta kemitraan antar pemangku kepentingan pembangunan di semua tingkatan. SDGs dapat digunakan sebagai kerangka kerja dan alat bantu bagi pemerintah dan CSO untuk memperkaya, mempertajam, mendorong dan mempercepat pencapaian Nawacita dan tujuan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019.

 

“Pada sisi capaian target dan operasional, SDGs lebih lengkap dan detail dibandingkan Nawacita,” kata Hamong Satono, Senior Program International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) melalui rilis yang diterima RIAUONLINE.CO.ID, Kamis (8/10/2015).

 



Selain itu, SDGs mempunyai peran strategis dalam tata pergaulan dan diplomasi internasional. Jika dilaksanakan dengan serius, Masyarakat Sipil menilai SDG dapat digunakan untuk menunjukkan komitmen politik Indonesia menjawab masalah global seperti, perlambatan ekonomi global dan kesenjangan antarnegara. (KLIK: Luhut: Tidak Ada Maksud Membunuh KPK)

 

Hanya saja, Koalisi Masyarakat Sipil melihat tantangan pelaksanaan SDGs karena kurangnya pemahaman pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, CSO, dan sektor swasta terkait posisi strategis dan relevansi SDGs dengan agenda pembangunan nasional dan daerah. SDGs masih dipandang sebatas agenda internasional yang terpisah dengan dengan pembangunan nasional dan daerah.

 

“Ini menyebabkan rendahnya komitmen politik dan lemahnya inisiatif menggunakan SDGs sebagai kerangka kerja dan alat bantu untuk mengakselerasi pembangunan nasional dan daerah,” katanya.

 

Melihat msalah itu tanpa komitmen jelas dari Presiden Joko Widodo, ia khawatir nasib SDGs akan bernasib sama dengan program sebelumnya Millineum Development Goals (MDGs) yang berakhir pada 2015. SDGs hanya dipandang sebagai proyek artifisial dan tidak terintegrasi dalam sistem perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional dan daerah.

 

Seperti hanya dalam program MDG, pemerintah hanya mengadopsi secara parsial, sektoral dan simtomatik dari tujuan, target, dan indikator MDG. Perumusan indikator untuk pemenuhan target MDGs belum memenuhi kriteria inklusif dan partisipatif melibatkan masyarakat sipil.

 

“Jika pola itu terulang, program SDGs akhirnya bersifat hanya dari pemerintah, oleh pemerintah dan untuk pemerintah,” kata Hamong.

 

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Karena belajar dari pelaksanaan MDGs, pemerintah Indonesia tidak memiliki mekanisme insentif dan disinsentif bagi para pihak yang dinilai berhasil maupun yang gagal dalam mencapai tujuan, target dan indikator. Yang akhirnya berdampak pada rendahnya komitmen, motivasi dan akuntabilitas kinerja percepatan MDGs.

 

Hal yang sama sangat mengkin terulang kembali, jika regulasi dan/atau mekanisme insentif-disinsentif untuk pencapaian SDGs tidak segera dirumuskan. Koordinasi lintas kementerian dan lembaga, pemerintah pusat dan daerah, serta antara pemangku kepentingan lemah.

 

Selain itu akuntabilitas dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pembangunan nasional maupun daerah masih rendah. “Ketiadaan data yang berkualitas, terintegrasi dan mudah diakses yang dapat digunakan sebagai baseline, monitoring dan evaluasi kinerja pencapaian SDGs,” katanya. “Ini butuh komitmen kuat Presiden.”

 

Karena itu Masyarakat Sipil mendorong Presiden membentuk Sekretariat Bersama (Sekber) sebagai model kerja yang bisa memastikan kesetaraan antara parlemen, pemerintah, dan CSO dalam merumuskan kerangka kebijakan, kelembagaan dan mekanisme akutabilitas pencapaian tujuan dan target SGDs.

 

“Sekretariat Bersama (Sekber) dibentuk oleh Keputusan Presiden dan dipimpin oleh pejabat setingkat menteri. Fungsinya memastikan SDGs tidak hanya menjadi tugas dan proyek pemerintah pusat,” kata Hamong. Tapi juga memastikan SDGs menjadi tugas dan prioritas setiap pemerintah daerah, masyarakat sipil, pihak swasta dan dan seluruh pemangku kepentingan lainnya.

 

Sebelumnya United Nations mengesahkan SDGs 2030 dalam sidang umum, 25-27 September lalu di New York. Pengesahan ini dihadiri lebih dari 190 kepala negara, sebagai kelanjutan program Millineum Development Goals (MDGs) yang berakhir 2015. Dalam penandatanganan ini, Indonesia diwakili Wakil Presiden Jusuf Kalla.