RIAU ONLINE, JAKARTA - Polwan (Polisi Wanita) lahir pada Tanggal 01 September 1948 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Sejarah kelahiran Polwan di Indonesia tak jauh berbeda dengan proses kelahiran Polisi Wanita di negara lain, yang bertugas dalam penanganan dan penyidikan terhadap kasus kejahatan yang melibatkan kaum wanita, baik korban maupun pelaku kejahatan.
Pada masa penjajahan Belanda, tiap kali ada kejahatan yang dilakukan anak-anak atau perempuan. Para pejabat kepolisian sering kali meminta bantuan kepada istri-istri mereka untuk melakukan pemeriksaan dan penggeledah.
Setelah Indonesia merdeka, seperti dikutip dari laman sosial media Facebook Divisi Humas Mabes Polri, Organisasi Wanita dan Wanita Islam mengajukan permohonan kepada pemerintah dan Jawatan Kepolisian Negara untuk mengikutsertakan perempuan dalam pendidikan kepolisian.
Tujuannya sama, menangani masalah kejahatan yang melibatkan anak-anak dan perempuan. Alasannya, kurang pantas seorang laki-laki memeriksa atau menggeledah tersangka perempuan yang bukan muhrim.
Akhirnya, pada 1 September 1948, Jawatan Kepolisian Negara untuk Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi, membuka kesempatan bagi kaum hawa untuk mengikuti Pendidikan Inspektur Polisi di Sekolah Polisi Negara di Bukittingi. Ada enam perempuan yang ikut serta dan selanjutnya dikenal dengan sebutan Perintis Polisi Wanita Indonesia.
Setelah melalui seleksi, terpilihlah enam orang gadis remaja yang kesemuanya berdarah Minangkabau dan juga berasal dari Ranah Minang, yaitu Mariana Saanin Mufti, Nelly Pauna Situmorang, Rosmalina Pramono, Dahniar Sukotjo, Djasmainar Husein dan Rosnalia Taher.
Keenam gadis remaja tersebut, secara resmi tanggal 1 September 1948 mulai mengikuti Pendidikan Inspektur Polisi di SPN Bukittinggi. Sejak saat itu dinyatakan lahirlah Polisi Wanita yang akrab dipanggil Polwan. Keenam Polwan angkatan pertama tersebut juga tercatat sebagai wanita ABRI pertama di tanah air yang kini kesemuanya sudah pensiun dengan rata-rata berpangkat Kolonel Polisi (Kombes).