RIAUONLINE, JAKARTA - Perebutan tender China dan Jepang untuk proyek kereta cepat menunjukkan bahwa posisi Indonesia di kawasan sangat strategis. Namun menurut pengamat geopolitik internasional, ada perbedaan kepentingan antara China dan Jepang dalam hal ini.
"Indonesia dari dulu secara geopolitik memang penting. Salah satunya karena posisi Indonesia. Dan indikatornya adalah Indonesia adalah negara terbesar di kawasan, tidak ada alasan Indonesia tidak penting," kata Mahmud Syaltout, pengamat geopolitik dari Universitas Indonesia saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (31/8/2015).
Mahmud mengatakan bahwa Jepang dan China berbeda kepentingan dalam hal ini. Pertimbangan Jepang dalam proyek ini, lanjut dia, adalah geoekonomi.
"Jepang akan menanamkan pengaruhnya dengan menguasai peran strategis dengan high added value. Dalam hal ini adalah kereta api cepat yang merupakan bisnis strategis," ujar Mahmud.
Sementara itu, China cenderung memiliki kepentingan geopolitik, yaitu menguasai jalur rel kereta darat. Mahmud menjelaskan, penguasaan jalur kereta adalah tahap ketiga dalam studi imperialisme geopolitik oleh Halford MacKinder, setelah jalan darat dan laut.
"China cenderung geopolitik," ujar Mahmud.
Dia melanjutkan, Indonesia bisa diuntungkan jika menyadari perbedaan kepentingan ini. Dengan China, Indonesia bisa diuntungkan jika proyek kereta api ini berlanjut dengan proyek lainnya, salah satunya dalam membenahi sistem manajemen pelabuhan.
China, kata Mahmud, memiliki pelabuhan tercepat dalam hal waktu bongkat muat peti kemas atau dwelling time. Keunggulan China ini bisa dimanfaatkan oleh Indonesia dengan transfer sistem dan pengetahuan.
"Shanghai itu pelabuhan terbesar dunia dengan kapasitas kontainer 11 kali lipat dari Tanjung Priok. Tapi kecepatan dwelling time Shanghai delapan kali lebih cepat dari Tanjung Priok," lanjut Mahmud.
Dengan Jepang, keuntungan bisa didapat jika menyadari bahwa apa yang dicari Negeri Sakura adalah kepentingan ekonomi. Indonesia bisa belajar geo ekonomi, teknologi dan riset Jepang yang luar biasa.
"Jika Jepang dapat proyek ini, harus dicatat berapa banyak ahli perkeretaapian Indonesia yang bisa dicetak dalam 2-3 tahun mendatang," jelas Mahmud.
Pemenang proyek kereta cepat antara Jakarta-Bandung dengan panjang 200 kilometer rencananya akan diumumkan pada akhir bulan ini. Baik China dan Jepang mengatakan kereta mereka mampu menempuh Jakarta-Bandung dalam waktu 36 menit.
Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) telah menggelontorkan modal sebesar US$3,5 juta sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan.
Nilai investasi kereta cepat berdasarkan hitungan Jepang mencapai US$6,2 miliar, 75 persennya dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1 persen per tahun.
China menawarkan nilai investasi yang lebih murah, yakni sebesar US$5,5 miliar dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium delapan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahun.
Selain itu, China menjamin pembangunan ini tak menguras dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia.
Mahmud menekankan bahwa Indonesia akan merugi jika tidak mampu melihat dengan jeli kepentingan kedua negara.
"Indonesia akan merugi jika iya-iya saja. Padahal investasi itu bukan sedekah, tapi cari untung. Jika tidak, Indonesia akan jadi negara buruh yang hanya dieksplorasi," ujar Mahmud.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline