Malu Kami Jika Tak Angkat Senjata Lawan Londo

Ketua-Legiun-Riau.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/Suci Aulia)

RIAU ONLINE, PEKANBARU – Menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-70 Kemerdekaan Republik Indonesia jatuh hari ini, Senin (17/8/2015), RIAUONLINE.CO.ID, mengangkat cerita perjuangan Pahlawan Kemerdekaan yang secara khusus menceritakan kembali cerita heroiknya kepada Anda pembaca setia kami. 

 

LETNAN Kolonel (Purn) Soegirinoto mencoba kembali mengenang 70 tahun silam, saat ia bertempur mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru berumur hitungan hari. Bagi generasi muda, kala itu, malu jika tak angkat senjata mengusir penjajahan dari Ibu Pertiwi.

 

(Baca Juga: Miris. Nama Pejuang Riau Hanya untuk Nama Gang

 

Kenangan demi kenangan angkat senjata diceritakan oleh Soegirinoto secara khusus kepada RIAUONLINE.CO.ID, ketika menyambangi Ketua Legiun Veteran Repubkik Indonesia (LVRI) Wilayah Riau, di kantornya, Jalan Cut Nyak Dien, pekan lalu. 

 

Soegirinoto menyeruput teh panasnya saat mengisahkan pengalamannya 70 tahun silam. Lelaki yang kini telah berumur 88 tahun tersebut menceritakan kembali pengalaman heroiknya. Ia tak pernah menyangka akan menjadi seorang perwira militer.

 

Dulunya ia hanya ingin bersekolah setinggi mungkin, namun takdir hidup berkata sebaliknya. Karir militerya diawali saat masuk Laskar Barisan Pemuda di Surabaya, Jawa Timur. Saat ia gabung dengan lascar kepemudaan tersebut, pertempuran 10 November 1945 masih berlangsung.

 

Ia datang secara khusus dari Yogyakarta bersama lima kawan seperjuangannya. Tujuannya satu, ingin gabung angkat senjata demi mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.



 

(Klik Juga: Veteren Ini Menangis LIhat Warga Tak Pasang Bendera

 

“Kami berenam datang dari Yogyakarta, karena di sana tak ada perang. Pemuda waktu itu sangat malu kalau ndak ikut berperang untuk pertahankan Indonesia. Kita pergi ramai-ramai ke Surabaya, waktu itu sudah pecah peristiwa 10 November, sekarang jadi hari pahlawan nasional,” cerita Soegirinoto dengan ditemani dua veteran lainnya ketika wawancara eksklusif ini dilakukan.

 

Soegiri, demikian ia dipanggil, tiba di Surabaya pertengahan Desember 1945. Ketika itu perang masih berkecamuk di Surabaya dan beberapa daerah berbatasan dengan Surabaya.

 

Kala itu, cerita Soegiri, keadaan kota sangat carut-marut. Pertokoan dan beberapa gedung hancur menjadi tembok pertahanan dari peluru beterbangan. Peperangan pecah di jalanan dengan suara desingan peluru terus berseliweran di telinganya.

 

(Baca Terpopuler: Inilah Sosok Pesepeda Berani Hadang Konvoi Moge

 

Sesekali terdengar suara ledakan bom dari tentara Belanda didukung persenjataan mutakhir melawan para pejuang Indonesia yang menggunakan senjata rampasan dan tradisional seperti bambu runcing, parang dan senjatar tajam lainnya. 

 

Masih lekang diingatannya, suara Bung Tomo, tak henti-hentinya menggelorakan semangat pantang menyerah kepada para pejuang melalui siaran radio. 

 

Kaum ibu dan para gadis juga turut serta dengan menyuplai makanan. Ibu-ibu mendirikan dapur umum di sekitaran masjid atau pojok kota, relative aman dari tembakan peluru nyasar. Mereka bergerilya di jalan perkotaan surabaya, di puing-puing gedung hancur ditembak dan dibom Belanda.

 

“Jangankan Belanda, pejuang saja hanya beberapa orang saja pernah berjumpa Bung Tomo. Saya tak pernah jumpa dengannya. Aku itu tak banyak tahu bagaimana wajah Bung Tomo itu,” tutrrnya saat ditanyakan apakah ketika bergerilya di Surabaya pernah bertemu Bung Tomo.

 

 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline