Sanyoto seusai mengikuti upacara peringatan hari veteran di Gedung Veteran Bhaskara Purnayudha Pekanbaru. Senin (10/8/2015)
(Suci Aulya)
RIAUONLINE, PEKANBARU – Peringatan Hari Veteran Indonesia yang jatuh pada tanggal 11 Agustus 2015 menyimpan kisah haru dari sosok lelaki tua berusia 93 tahun ini. Dialah Sanyoto, salah satu veteran pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang kini menetap di Pekanbaru.
Meski telah memasuki usia senja, Sanyoto masih tampak sehat. Ia khidmat mengikuti upacara peringatan hari veteran di Gedung Veteran Bhaskara Purnayudha Pekanbaru. Senin pagi (10/8/2015). Penuh semangat dia menggotong bendera merah putih saat kirab di sepanjang Jalan Cut Nyak Dien.
"Alhamdulillah bapak tidak pernah sakit," kata anak ketiga Sunyoto, Asih, yang setia mendampingi ayahnya, kepada RIAUONLINE.CO.ID.
Saat rehat seusai upacara, Ayah delapan anak itu berbagi kisah perjuangannya tatkala melawan penjajah Belanda, meskipun ucapannya terkadang sulit dipahami karen faktor umur, namun tidak membuat Sanyoto melupakan sejarahnya yang mengharu biru. Ia masih ingat benar sepenggal kisah perjuangan merebut kemerdekaan. Dimulai dari Cilacap, Jawa Tengah, kota kelahirannya.
Lelaki yang akrab disapa mbah Nyoto itu menceritakan, kepiawaiannya mengangkat senjata sejak berusia belasan tahun. Di usia remaja itu ia masuk Heiho, organisasi militer bentukan Jepang. Disana ia banyak belajar dasar-dasar militer. "Saya belajar menggunakan senjata," katanya.
(BACA JUGA: Meski Fisik Tak Lagi Kuat, Semangat Tetap Kuat)
Heiho sejak awal dibentuk sebagai pasukan penyokong kekuatan militer Jepang, saat itu tengah pecah Perang Dunia II melawan Amerika Serikat dan sekutunya. Pasukan ini terdiri dari orang-orang pribumi yang dilatih untuk menghadapi peperangan melawan sekutu.
Selepas itu Heiho dibubarkan, dan dibentuklah Pembela Tanah Air atau yang sering disebut PETA. Nyoto muda dipindahkan ke PETA bersama orang-orang pribumi lainnya. Pembentukan PETA merupakan salah satu janji Kekaisaran Jepang untuk membantu bangsa Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaannya sebagai saudara tua bangsa Indonesia.
Ketika di PETA kata Nyoto, beberapa temannya mati lantaran kurangnya gizi makanan untuk prajurit, sementara pendidikan dan latihan dilalui cukup keras. Ia bersyukur bisa bertahan hidup ketika itu.
“Kebanyakan pasukan mati kelaparan. Sisanya akibat muntaber atau penyakit malaria yang tak sembuh-sembuh. Makan sedikit sedangkan kerjanya ditekan untuk keras. Saya Alhamdulillah masih bisa hidup waktu itu walaupun memang sudah mikir akan mati juga,” tuturnya.
Pasca kemerdekaan tentara PETA pun dibubarkan, para prajurit kemudian masuk dalam Badan Keamanan Rakyat. Di organ militer pertama bentukan pemerintah Indonesia inilah Nyoto mengabdikan dirinya untuk republik yang ia citakan sejak dulu.
(KLIK JUGA: Sejarah Pilu Yang Terlupakan di Riau)
Awalya ia ditempatkan di Surabaya. Agresi Militer I yang dilancarkan tentara Belanda pada Juli 1947 menjadi pengalaman pertama baginya berperang melawan penjajah. Beruntung, pengalaman di Heiho dan PETA membuat Nyoto tidak terlalu gugup menghadapi peperangan di bawah komando Jendral Soedirman.
“Waktu itu rasanya campur aduklah. Antara gugup, takut, semangat, dan marah. Intruksi dari Jendral Dirman (Soedirman) waktu itu perintahkan semua prajurit BKR yang mau ikut berperang segera masuk hutan dan lereng gunung. Pak Dirman bilang kita semua mesti melawan Belanda yang terkutuk itu,” ungkapnya penuh semangat mengenang pengalamannya.
Nyoto dan prajurit lainnya merangsek masuk hutan. Lalu melakukan perang gerilya sepanjang tahun untuk melawan Belanda. Perang Gerilya ini diterapkan oleh Jendral Soedirman sebagai pertimbangan atas timpangnya kekuatan militer belanda dan republik yang sangat jauh berbeda.
“Kita jelas kalah kalau kita lakukan perang jarak dekat. Makanya waktu itu Pak Dirman bilang kalau semuanya mesti nyebar ke gunung-gungung dan hutan-hutan, kemudian lakukan perang di malam hari, saat tentara belanda istirahat,” ucap lelaki tua berkacamata ini.
Akhir tahun 1947, Jendral Soedirman berkunjung ke Surabaya secara sembunyi-sembunyi. Itulah pertama kalinya Nyoto bertemu sang Jendral.
(BACA JUGA: 11 Agustus Jadi Hari Veteran Nasional)
"Di sana ia memberikan semangat dan menggelorakan perang jihad untuk membela tanah air sampai titik darah penghabisan,” tambah ayah beranak delapan ini.
Peperangan melawan Belanda di Surabaya menjadi pengalaman tak terlupakan bagi Nyoto. Ia turut serta menghabisi tentara Belanda. Dengan granat tangan, ia menewaskan banyak tentara Belanda ketika itu. Batinnya berkecamuk, pengalaman itu terkadang membuatnya merasa berdosa karena membunuh. Namun ia sadar, apa yang diperbuat itu demi membela tanah airnya.
“Ada sekitar belasan orang yang mati waktu granat saya lemparkan ke mereka. Sampai sekarang kadang saya merasa berdosa. Makanya tak pernah saya tinggalkan solat sampai sekarang. Ya..semoga saja Allah SWT mengampuni dosa saya,” ujarnya.
Kemudian Nyoto pun kerap dipindah tugaskan hingga ke Medan. Terakhir dia menetap di Pekanbaru, berdinas di Korem 031/Wirabima dengan pangkat terakhir Sersan Mayor.
Sebagai seorang veteran, ia hanya berpesan kepada generasi muda agar tidak melupakan sejarah dan perjuangan para pahlawan. "Karena tanpa para pahlawan, mustahil kita bisa menikmati kemerdekaan hingga sekarang," tegasnya.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline