PRESIDEN Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI) disaksikan dengan pongahnya oleh Direktur Pelaksana IMF, Michael Camdessus, 15 Januari 1998 di kediaman pribadi Soeharto, Jalan Cendana, Jakarta.
(Internet)
RIAUONLINE - Tahukah Anda, Indonesia sudah menjadi pasien International Moneter Fund (IMF, Dana Monetary Internasional) sejak awal-awal Kemerdekaan 1945-an, saat pemerintah Soekarno mengalami kesulitan menanggulangi problem ekonomi yang rusak akibat perang kemerdekaan.
Pada akhir 1945, 35 negara dianggap founding fathers, menandatangani anggaran dasar Dana Moneter Internasional. Setelah melalui persiapan, termasuk ratifikasi di DPR/Kongres masing-masing negara anggota, akhirnya IMF dinyatakan berdiri dan beroperasi pada 1 Maret 1947.
Indonesia, baru saja bangkit dari krisis akibat perang melawan Belanda selama masa revolusi, mengajukan permintaan menjadi anggota IMF dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD), kemudian menjadi Bank Dunia pada 24 Juni 1950.
Dewan Gubernur IMF kemudian menyerahkan draft resolusi melalui Kedutaan Besar Indonesia di Washington, 15 Agustus 1952. Indonesia membalasnya dalam surat ditandatangani Sutikno Slamet, bendahara umum Kementerian Keuangan dan kemudian menjadi menteri keuangan Kabinet Djuanda/Karya (1957-1959).
Pada 10 September 1952, dalam sidangnya di Mexico City, Dewan Gubernur IMF dan Dewan Gubernur IBRD menyetujui resolusi-resolusi memuat peraturan dan syarat-syarat Indonesia menjadi anggota IMF.
Indonesia menerima dan menandatangani. Pada pertengahan 1953, Indonesia resmi menjadi anggota. Secara legal, keanggotaan itu disahkan dengan UU No 5/1954.
Menurut Hadi Soesastro dan Aida Budiman dalam Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1945-1959, pada Agustus 1956, pemerintah Indonesia memperoleh pinjaman IMF 55 juta Dolar AS karena inflasi kembali berkecamuk disebabkan defisit anggaran yang meningkat dan cadangan devisa menurun cepat.
Pinjaman besar dari IMF tersebut, tulis Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010, jelas tak mencukupi untuk memecahkan masalah dihadapi negara baru saat hadapi persoalan besar dalam pembangunan infrastruktur. Apalagi defisit anggaran tahun 1957 tiga kali lipat, dan pada 1958 dan 1959 menjadi dua kali lipat lagi.
Menurut ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Thee Kian Wie, defisit anggaran terus naik karena pengeluaran pemerintah tak terkendali, terutama dalam persoalan politik, seperti mengatasi pergolakan di daerah dan krisis Irian Barat.
“Pemerintah tidak mengambil kebijakan moneter yang tepat untuk menanganinya, malah mencetak uang baru yang mengakibatkan inflasi melambung tinggi,” ujar Thee, seperti dikutip dari historia.co.id, pengujung Januari 2013 lalu.
Sumber: historia.id