(INTERNET)
Senin, 15 Juni 2015 08:10 WIB
(INTERNET)
RIAUONLINE - Ribut-ribut soal tempat lahir Sukarno tampaknya sudah mereda. Tim komunikasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah bertanggungjawab dan meminta maaf atas kesalahan menyebut tempat lahir Presiden Pertama Indonesia itu di Blitar, padahal di Surabaya.
Namun, bagaimana jika ternyata nama keluarga yang digunakan anak-anak Soekarno tidak sesuai dengan apa yang diberikan dan diinginkan ayah mereka?
Dalam amanatnya pada Musyawarah Nasional Teknik di Istora Olahraga Senayan Jakarta, 30 September 1965, Sukarno menegaskan: “Saudara-saudara, saya mendidik kepada Guntur, kepada Megawati: He Guntur, engkau harus membantu kepada pembangunan sosialisme. Megawati, engkau harus membantu kepada pembangunan sosialisme. Ayo, tentukan sendiri, engkau mengambil jurusan apa di dalam studimu? Guntur milih teknik! Megawati milih teknik,” kata Sukarno dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara.
Sukarno menegaskan nama keluarga ia berikan kepada anak-anaknya: “Guntur Sukarnaputra. He wartawan, kenapa wartawan itu selalu salah tulis. Guntur Soekarnoputra, salah! Sukarnaputra. Begitu pula Megawati Sukarnaputri. Bukan Soekarnoputri, meskipun namaku adalah Sukarno.”
Beberapa buku menulis nama keluarga itu Sukarnaputra atau Sukarnaputri. Misalnya, dilansir dari historia.id, dalam buku Republik Indonesia Volume 5: Djakarta Raya, terbitan resmi Kementerian Penerangan tahun 1957, menyebut Megawati Sukarnaputri.
“Di tengah-tengah suatu taman diadakan pelajaran untuk kanak-kanak keluarga Istana dimana tidak ada perbedaan bagi Megawati Sukarnaputri dengan anak si tukang kebun, mereka sama-sama mendapat didikan di suatu tempat disediakan.” Menariknya, buku-buku asing terbitan tahun 2000-an juga menulis Megawati Sukarnaputri.
Begitu juga dengan Guntur. Buku Pedoman Pokok Pelaksanaan Deklarasi Marhaenis diterbitkan DPP Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1965, menyebutkan “kemudian pembacaan ikrar oleh Bung Guntur Sukarnaputra. Disusul dengan penyerahan jenis ‘padi Marhaen’ hasil karya saudara Martief Djemain anggota Petani Djawa-Timur kepada Bapak Marhaenisme Bung Karno.”
Mengapa Sukarno memilih nama Karna? Karna merupakan pengganti Kusno, nama lahir Sukarno. Sakit-sakitan menjadi alasan bapaknya, Raden Sukemi Sosrodiharjo, mengganti nama Kusno menjadi Karna, anak Batara Surya atau Dewa Matahari dengan Dewi Kunti, yang lahir melalui telinga. Karenanya Karna juga berarti telinga.
Karna, kata Raden Sukemi mengagumi kisah Mahabarata, adalah pahlawan terbesar dalam Mahabarata, setia pada kawan-kawannya, memiliki keyakinan tanpa mempedulikan akibatnya, dikenal karena keberanian dan kesetiaannya, seorang panglima perang dan pembela negara.
“Aku selalu berdoa agar anaku menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya,” kata Raden Sukemi seraya berharap “semoga engkau menjadi Karna yang kedua.”
“Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa huruf A dibaca O. Awalan Su pada kebanyakan nama kami berarti baik, paling baik. Jadi Sukarno berarti pahlawan yang terbaik,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.
Sejak masa sekolah tanda tangannya dieja Soekarno, namun setelah Indonesia merdeka Sukarno memerintahkan semua OE ditulis menjadi U. “Nama Soekarno sekarang ditulis menjadi Sukarno,” kata Sukarno. “Tidak mudah bagi seseorang untuk mengubah tandatangan setelah berumur 50 tahun, jadi dalam hal tandatangan aku masih menulis S-O-E.”
Sukarno tidak menyebut alasan mengapa dia memberikan nama keluarga Sukarnaputra atau Sukarnaputri. Barangkali, dengan memberikan nama itu, Sukarno seperti halnya bapaknya, Raden Sukemi, mengharapkan anak-anaknya menjadi seorang Karna.*
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline
Bagi Anda ingin memberikan informasi dan mengirimkan tulisan, silakan dikirim
ke: [email protected] disertai identitas tanda pengenal, foto dan nomor telepon Anda.
Sumber : historia.id