RIAU ONLINE, PEKANBARU - Penetapan Darurat Pencemaran Udara atau Darurat Asap oleh Gubernur Riau, Syamsuar, serta perintah dari Pemerintah Malaysia untuk memulangkan ratusan pelajar dan mahasiswa mereka di bumi Lancang Kuning, mengulang kejadian serupa di 2015 silam.
Tokoh Masyarakat Riau, Hj Azlaini Agus, mengatakan, pemerintah Malaysia dan Singapura berhak menuntut Pemerintah Indonesia atas kejadian asap menyebabkan negara mereka tercemar akibat polusi dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tersebut.
Selain berhak menggugat Indonesia akibat asap polusi Karhutla, negara-negara ASEAN juga wajib membantu negara yang mengalami kebakaran lahan atau hutan.
"Di dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Polution Tahun 2006 ditandatangani di Hotel Aryaduta oleh menteri Lingkungan Hidup Asia Tenggara, dimuat ketentuan kewajiban negara terkena dampak polusi asap lintas batas untuk membantu menanggulangi atau memadamkan kebakaran hutan dan lahan menimbulkan asap tersebut," ungkap Anggota DPR RI 2004-2009 ini kepada RIAUONLINE.CO.ID, Selasa, 24 September 2019.
Dengan perjanjian tersebut, tuturnya, sudah sepantas dan sepatutnya Perdana Menteri (PM) Malaysia Tun Mahathir Muhammad menawarkan bantuan ke Presiden Joko Widodo, guna memadamkan api di Pulau Sumatera serta Kalimantan.
Sayangnya, jelas Azlaini Agus, Presiden Jokowi tak menggubris tawaran bantuan tersebut dan hingga hari ini, asap dari kebakaran hutan dan lahan semakin parah.
"Kita wajib melaksanakan Agreement Transboundry Haze Polution itu setelah Indonesia meratifikasinya menjadi Undang-undang No 26 tahun 2014 tentang Persetujuan ASEAN terkait Pencemaran Asap Linta Batas," jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukkam) Wiranto dan Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol M Iqbal mengeluarkan pernyataan membuat 6 juta lebih warga Riau berang.
Keduanya mengatakan, asap kebakaran hutan dan lahan di Riau tidak separah seperti diberitakan media. Padahal, tutur Azlaini, sudah dua bulan mulai Agustus-September 2019, rakyat Riau hidup dan bernafas di dalam asap dengan tingkat polusi sangat tinggi.
"Rakyat Riau itu bernafas dan hidup dengan nilai indeks ISPU melebihi 600 atau Sangat Berbahaya. Mereka petinggi negara kita itu tak mau dipersalahkan atas kelalaian mereka mengakibatkan asap Karhutla sangat tebal yang terjadi, dan mereka membuat pencitraan," kritiknya.
Presiden Jokowi, termasuk Wiranto, Kapolri, dan pembantunya, saat berkunjung pekan lalu, Senin-Selasa, 16-17 September 2019, ke lokasi Karhutla, tanpa mengenakan masker.
Ini, tuturnya, memberi kesan seakan-akan asap tebal Karhutla di Riau "tidak parah". "Terbukti, ternyata sehari setelah Jokowi pulang kembali ke Jakarta, keluarlah statement Wiranto dan disusul statemen Kapolri, "Karhutla di Riau tidak separah pemberitaan"," pungkasnya.