Cerita Mika dan Keluarga Pemulung tak Sanggup Beli Masker kala Asap Tebal

Mika-dan-Keluarganya.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/NABILA DELVIONA ADISRI)

Laporan : NABILA DELVIONA ADISRI

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Berjongkok, Mika (13), memilih-milih sampah basah sayur-sayuran telah dipotong-potong di Tempat Pembuangan Sampah Pasar Pagi Panam, Tampan.

Asap tebal menyelimuti Kota Pekanbaru tak dihiraukannya. Ia tetap memilih sampah sayuran tanpa mengenakan masker. Selain dirinya, orangtuanya, Santuri (53) dan Hana (44), serta abangnya, Febian (15), juga ikut memilih-milih sampah sayuran.

Sejak pagi, pukul 07.00 WIB, keluarga ini sudah berangkat dari rumah mereka di Palas, Rumbai, menerobos asap tebal menuju Pasar Pagi Arengka. 

"Dari mana uang untuk membeli masker? Sedangkan saya dan sekeluarga kerja hanya mulung tiap hari di sini. Uang kami dapatkan kadang cukup, kadang tidak untuk makan," kata Mika sembari melanjutkan memungut sampah.

 



Ia bercerita, dari rumahnya di Palas menuju Pasar Pagi Arengka, melewati pembagian masker gratis. Namun, ia dan keluarganya tidak sempat berhenti mengambil masker, karena harus buru-buru ke pasar. 

“Jika cepat kami sampai di sini, maka kami tidak akan berebut dengan pemulung lainnya akan memungut. Selain itu, juga terhindar dari perkelahian antar kami sesama pemulung ini,“ kata Mika sambil menghela nafas.

Walau tidak memakai masker, Mika tak bisa memungkiri dirinya sudah dua hari terakhir merasakan di bagian dada sesak. Tak hanya itu, ia juga sulit melihat, karena jarak pandang kian menipis. Tak hanya itu, jika ia sakit, untuk membeli obat pun uang hanya cukup buat makan sekeluarga. 

Sementara itu, ayahnya, Santuri mengatakan, persoalan masalah asap mengatasinya bukan perorangan. Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan masyarakat akan bahaya asap ini.

"Lagian pemerintah juga kurang teliti, hingga sekarang masih ada anak bersekolah. Artinya apa? Pemerintah kurang menekankan kepada pihak sekolah untuk liburkan anak karena asap ini," kritik Santuri.

Santuri menjelaskan, kalau hanya lahan masyarakat satu atau dua hektare, tidak terlalu berpengaruh betul seperti sekarang ini. Sumber terjadinya asap ini dari perusahaan-perusahaan besar itu.

"Perusahaan melakukan pembakaran ini juga membutuhkan lahan luas, makanya asap di Riau ini makin hari makin tebal," kata Santuri dengan nada mulai meninggi.

"Jika pemerintah terlalu longgar memberikan hukuman kepada pembakar lahan, imbasnya masyarakat luas, pengusaha tinggal mendapat hasilnya" jelasnya kembali. 

Tak mau kalah, Hana, istrinya, menimpali. Di SMPN 6 Rumbai, sebagian SDN di Palas, termasuk anaknya bersekolah di SMK Taruna, juga belum diliburkan.

Itupun, tuturnya, dirinya sendiri menyuruh anaknya meliburkan diri karena tidak memungkinkan untuk pergi ke sekolah asap tebal begini.