(Azhar)
Senin, 3 Juni 2019 16:19 WIB
(Azhar)
Laporan: RICO MARDIANTO
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pengamat lingkungan, Elviriadi menilai Gubernur Riau Syamsuar akan kewalahan melaksanakan permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menertibkan 1 juta hekatare (Ha) lahan sawit ilegal yang dimiliki perusahaan tanpa izin di Riau.
Menurut pengajar ilmu lingkungan di UIN Suska Riau ini, Gubernur Syamsuar dan wakilnya Edy Natar Nasution tidak memiliki rekam jejak dalam menertibkan praktik ilegal cukong atau mengeksekusi lahan kritis.
"Tradisi fighting dalam pribadi Syamsuar belum terlihat kecuali dalam birokrat, ada lah. Selama dia menjabat bupati Siak tidak ada eksekusi tertentu terhadap lahan yang kritis atau menangani konflik agraria masyarakat dengan perusahaan sawit," kata Elviriadi kepada RIAUONLINE.CO.ID, Minggu, 2 Juni 2019.
Elviriadi menyebut, pengelolaan lahan dan perkebunan di Riau selama ini bersifat maniac oriented atau maniak pada satu komoditas yaitu perkebunan sawit yang sebagian besar digarap cukong-cukong yang memiliki jaringan yang kuat.
"Dalam artian tidak berdasarkan kebutuhan masyarakat dan pembagian ekologis, mana yang tangkapan air, tanaman hortikultura, dan tanaman yang cocok untuk ratusan tahun bagi masyarakat di situ, tetapi maniak satu produk, yaitu maniak sawit dari cukong yang kuat," kata dia.
Elviriadi menjelaskan, satu juta hektare perkebunan sawit ilegal yang saat ini dimiliki perusahaan tanpa izin tersebut adalah lahan yang telanjur, sehingga tak mudah bagi Pemerintah Provinsi Riau menertibkannya.
Baca Juga
"Jumlahnya tak main-main, satu juta hektare, akan ada perlawanan dari cukong. Apalagi Syamsuar dan Edy Natar bukan orang yang punya sejarah straightforward maupun pembuat kebijakan menumental kepada rakyat. Kalaupun bisa, Pak Syamsuar harus memompa motivasi keberaniannya," ujar Elviriadi.
"Ini bukan pekerjaan gampang bagi Syamsuar karena ini sudah menunujukkan bahwa pengelolaan lahan dan perkebunan di Riau memang pengelolaan yang maniac oriented," sambungnya.
Selain itu, menurut dia, dalam menertibkan perusahaan-perusahaan ilegal tersebut, Syamsuar harus menggalang kekuatan luar pemerintah yang selama ini fokus pada persoalan ini, seperti Jikalahari dan para korban konflik agraria di sekitar lokasi perkebunan sawit tersebut.
Kemudian membuat rekayasa sosial agar masyarakat yang selama ini tertindas akibat konflik agraria dan dominasi lahan sawit bisa bangkit. Untuk itu, lanjut dia, perlu adanya sinergi antara Pemerintah Provinsi Riau dan masyarakat sipil yang punya nyali melawan praktik ilegal perusahaan tanpa izin tersebut.
"Jadi, harus dihubungi para tetua, orang yang selama ini bersuara, yang pulang balik jumpa bupati dan Kadis LHK tapi ditolak. Mereka harus dipanggil, karena mereka berani dan punya massa, harus ada koalisi premprov dengan basis masa di bawah," kata Elviriadi.
"Contohnya Pak Ruslan di Pulau Padang, sudah 6 hingga 7 tahun berjuang, tanahnya diambil oleh perusahaan besar di Riau. Sampai sekarang belum clear, tak ada hasil. Lalu kepada siapa lagi masyarakat ini mengadu, tak ada. Nah, orang-orang begini yang selama ini tertutup oleh akses struktural negara, baik kementerian maupun pemprov dan pemkab harus diiajak, kalau mau serius, tapi saya rasa tradisi di birokrasi tak sampai ke situ," ucap Elviriadi.
Elviriadi berkata, ketidakmampuan Syamsuar dalam menertibakan perkebuanan sawit tersebut bisa menjadikan wacana ini dihilangkan dari muka publik. Oleh karena itu, menurut Elviriadi, seharusnya KPK sendiri yang turun memberantas praktik ilegal perkebunan sawit tersebut.
"Kemarin kan sudah ada tersangka di Rohul, itu baru dua orang dan perusahaan kelas teri. Sebagai lembaga yang diberi otoritas oleh negara tampakkan dong taring KPK," kata Elviriadi.
Sebelumnya, KPK mencatat ada 1 juta hektare kebun sawit di Riau tanpa memiliki izin. KPK lantas meminta Pemprov Riau menertibkan perkebunan sawit ilegal tersebut.
"Dalam catatan kami ada 1 juta hektare perkebunan sawit mengokupasi areal hutan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Selain dikuasai masyarakat, paling besar dikuasai perusahaan tanpa izin," kata Wakil Pimpinan KPK, Alexander Marwata di Pekanbaru, saat kunjungan dalam rangka penandatanganan kesepakatan penerimaan pajak pusat dan daerah yang dihadiri Gubernur Riau, Syamsuar, Kamis 2 Mei 2019 lalu.