RIAU ONLINE, PEKANBARU - Budayawan yang juga dosen FKIP Universitas Riau, Elmustian Rahman, mencoba menjelaskan kepada netizen dan hater (pembenci) yang membaca media dengan pandangan sinis terhadap penderitaan 6 juta rakyat Riau. (Baca Juga: Al Azhar: Asap Riau Seperti Genosida)
Pasalnya, mereka membaca sepotong-sepotong lalu memberikan pendapat. Ia mencoba menjelaskan itu semua, mungkin bisa membantu untuk berfikir ulang, paling tidak merenungkan kembali. (Klik Juga: Azlaini Agus Menangis Negara Gagal Atasi Asap)
Elmustian kemudian di akun Facebook-nya mengutip sebuah surat yang ditulis Ketua Umum Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), Al Azhar, kemudian atas izin bersangkutan diunggah di akun pribadinya. Berikut isi surat tersebut: (Lihat Juga: Dinas Kehutanan Laporkan 12 Perusahaan HTI Pembakar Lahan)
Dear Dani. Apa kabar?
Bersama 6 juta penduduk Riau dan puluhan juta rakyat Indonesia lainnya di Sumatra dan Kalimantan, aku sudah lebih 2 minggu ini terkurung asap dan harus menghirup partikel-partikel polutan yg dibawanya. Indeks standar pencemaran udara di negeri kami bertahan di level bahaya dan sangat tidak sehat.
Sudah lebih 2 minggu kami merasakan negara absen dalam penderitaan kami. Para pemimpin pusat datang dan pergi mengantarkan janji-janji, tapi tak pernah ditepati. Pemimpin daerah terpenjara dalam keragu-raguan, keterbatasan sumberdaya, dan undecisiveness; tak kapabel dan tak kompeten, pokoknya.
Bencana ekologis ini sudah kubayangkan akan terjadi ketika aku masuk SMA dulu, di usia sekitar 15 tahun; +- 39 tahun yl. Waktu itu di Riau orang-orang entah dari mana-mana berpesta-pora menguasai hutan-tanah kami, menebangi pohon-pohon besar, menggelindingkannya ke sungai-sungai besar di Riau, menyeretnya ke Selat Melaka, utk diekspor; sebagian besar ke Jepang. Sungai-sungai kami berubah warna menjadi cokelat kehitam-hitaman, asam... hewan-hewan air di dalamnya mati mengapung... Yang berpesta-pora itu adalah para pemegang izin HPH dari Pusat.
Tahun 1980-an muncullah korporasi raksasa HTI, kemudian perkebunan sawit. Bayangkan, dalam waktu 15 tahun, separuh dari 8 juta daratan Riau sdh beralih ke korporasi pemegang konsesi/hgu. Kini sekitar 5 juta dari 8 juta luas daratan Riau itu dikuasai oleh hanya sekitar 200-300 orang. Sisanya, utk +6 jt penduduk Riau.
Sejak Orba, Riau memang dipetakan pusat sebagai daerah eksploitasi SDA berbasis hutan-tanah, di samping minyak bumi...untuk menggenjot devisa negara. Dana reboisasi disikat penyelenggara pemerintahan yg korup...
Dalam setiap pergantian rezim, kami tak henti-hentinya bersuara, santun maupun kasar, agar Riau dibebaskan dari 'kewajiban' sebagai kawasan eksploitatif demi devisa negara itu; bebas sebagai sapi perahan, artinya. Namun belum berhasil. Setiap rezim punya masalah (politik dan ekonomi)-nya masing-masing; dan Riau tetap constructed sebagai sapi perahan, termasuk rezim sekarang...
Dani, ekologi kami porak-poranda: fisik, biologik, sosial, komposit. Hancur lebur. Mencari contoh kebijakan dan praktik keliru bernama tenurial imbalances? Lihatlah Riau. Mau tahu kompleksitas dan kekacauan tataruang dan tatakelola hutan-tanah? Lihatlah Riau. Mau tahu praktik-praktik kolutif-koruptif korporat dan aparat? Selidikilah Riau. Mau tahu apa saja yg buruk dan salah dlm penyelenggaraan negara, Riaulah bench marking yg tepat...
Maka sejak 18 tahun lalu hidup kami di Riau setiap tahun secara periodik berada dalam kepungan asap; setiap tahun... setiap tahun... Kami teriak: stop asap, hukum korporat dan orang-orang serakah pembakar lahan, hentikan izin-izin baru usaha berbasis lahan, stop perpanjangan izin konsesi HPHTI dan HGU sawit di Riau... teriakan itu didengar sejenak lalu sirna dari ingatan para penguasa pusat dan daerah bersama sirnanya asap, setelah hujan turun dari langit Riau.
Sekarang, asap lagi. Indeks polutan pagi ini mencapai angka 550an, padahal tubuh manusia hanya sanggup memberi toleransi maksimal di angka 250... Apalagi yg mesti kulakukan, Dani?
Terima kasih telah sudi menerima sapaan pedihku pagi ini...