Kekeringan di Sumatera Lantaran El Nino dan Siklon Tropis

Pemadaman-Karhutla-di-Kuala-Cenaku.jpg
(RIAUONLINE/ISTIMEWA)

 

RIAUONLINE, JAKARTA - Gejala alam El Nino yang diperkirakan terjadi hingga November mendatang dikhawatirkan akan meningkatkan kasus kebakaran hutan di Indonesia. Demikian disampaikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB.

 

"Ancamannya sampai November nanti. Di Sumatra dan Kalimantan, asap juga cukup pekat dan sudah berlangsung selama satu minggu. Dan karena terbawa angin juga masuk ke wilayah Batam dan juga Singapura," kata Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, kemarin.

 

Data BNPB menyebutkan, ancaman kebakaran hutan tidak hanya di hutan Sumatra dan Kalimantan, tetapi juga di kawasan hutan yang berada di lereng Gunung Merbabu yang terletak di empat kota di Jawa Tengah dan Gunung Watangan Puger di Kabupaten Jember.

 

Tetapi, BNPB menyampaikan, pihaknya telah berhasil mengatasi kebakaran yang terjadi di Gunung Merbabu Jawa Tengah.

 

Sementara itu, Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca BMKG Kukuh Ribudiyanto menjelaskan, kondisi kekeringan di Kalimantan dan Sumatra tersebut juga dipengaruhi oleh siklon tropis selain El Nino yang tidak separah pada 1997 lalu.

 



"Itu lebih parah pada 1997, ketika itu suhu permukaan laut lebih dingin di wilayah perairan Indonesia dan dampaknya lebih luas, kebakaran hutan ini terjadi karena kekeringan di Sumatera dan Kalimantan yang dipengaruhi El Nino dan juga fenomena siklon tropis yang ada di Utara Indonesia sekitar Filipina sehingga di Kalimantan Tengah, Timur dan Sumatra Jambi curah hujan lebih berkurang karena ada siklon tropis," jelas Kukuh.

 

El Nino merupakan naiknya suhu permukaan laut di Samudra Pasifik sekitar ekuator, khususnya di sekitar Cile dan Peru, yang diikuti dengan turunnya suhu permukaan air di beberapa wilayah perairan Indonesia. Dampaknya adalah terjadinya kekeringan di sejumlah wilayah Indonesia.


Sekitar 16 Provinsi, 150 kabupaten/kota dan 800 kecamatan telah mengalami kekeringan. Sebagai antisipasinya, BNPB mulai melakukan hujan buatan pada Selasa (25/08) dengan biaya Rp200 milliar untuk mengatasi kekeringan. Sementara untuk mengatasi kebakaran hutan biaya yang disiapkan mencapai Rp385 milliar.

 

"Upaya pemadaman tetap dilakukan dalam hal ini BNPB masih tetap melakukan water bombing dengan mengerahkan 3 helikopter di Riau dan hujan buatan juga masih dilakukan, sementara di Sumatra Selatan kita lakukan hujan buatan dan dua helikopter untuk water bombing, dan upaya pemadaman juga dilakukan oleh satgas di darat," jelas Sutopo.

 

(BACA JUGA: Jarak Pandang 500 Meter, Citilink dan Lion Air Tak Bisa Mendarat)

 

Dia menekankan antisipasi kebakaran hutan juga sebaiknya dibarengi dengan penegakan hukum. "Kita tidak menyalahkan alam, El Nino memang menambah wilayah tersebut kering dan mudah terbakar, meski operasi di darat dan udara dilakukan nyatanya titik hotspot masih bermunculan karena dibakar, jadi solusinya ya harus ada juga penegakan hukum," ucap Sutopo.

 

Masalah penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan juga disoroti oleh Direktur Eksekutif Walhi Abednego Tarigan. Selain itu, dia juga menyebutkan masalah tata guna lahan yang menjadi salah satu penyebab kebakaran hutan.

 

"Padahal presiden Jokowi sudah menyoroti masalah tata guna dan perijinan lahan, dan rehabilitasi lahan gambut untuk mencegah kebakaran hutan, tetapi sampai saat ini kebakaran hutan lebih pada masalah pemadaman saja, bukan menyelesaikan akar masalahnya," jelas Abednego.

Sampai Juli 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tengah menangani 10 kasus melalui sengketa pengadilan, yang sebagian besar merupakan kasus kebakaran lahan.

 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline