RIAU ONLINE, PEKANBARU - Impulsive buying adalah istilah yang digunakan untuk merujuk ketika seseorang membeli barang yang tidak direncanakan sebelumnya. Tindakan belanja seperti ini tidak dilakukan dengan pemikiran yang matang dan sering terjadi secara tak terduga dan di saat-saat yang mendesak, yang dipicu oleh beberapa hal.
Impulsive buying jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti pembelian barang atau belanja secara impulsif yang dilakukan secara cepat, tiba-tiba, dan menurut suasana hati.
Psikolog sekaligus Direktur Pusat Kepemimpinan dan Penelitian Kesehatan di Royal Roads University, Kanada, Elizabeth Hartney, pada laman Verywell Mind, menulis bahwa impulsive buying terkadang tidak terlalu berbahaya jika sesuai dengan anggaran seseorang. Namun, impulsive buying juga bisa mengakibatkan pengeluaran yang besar yang berdampak pada masalah finansial.
Orang yang melakukan impulsive buying biasanya mendapatkan kepuasaan secara instan atas pembelian yang tidak direncanakannya. Tetapi, kemudian mereka terkadang berniat mengembalikan barang yang dibeli secara impulsif karena penyesalan.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi impulsive buying. Setiap orang berisiko mengalaminya apabila tidak dapat mengendalikan diri. Artikel ini akan membahas mengenai penyebab terjadinya impulsive buying.
Terdapat banyak faktor penyebab seseorang cenderung melakukan impulsive buying, antara lain sebagai berikut:
1. Pengaruh Emosional
Laman M2.0 Communications menulis, pada saat stres, kelelahan, atau kecemasan, korteks prefrontal analitik manusia akan menjadi tegang, yang bertanggung jawab atas pemikiran rasional dan pengambilan keputusan yang baik.
Sebaliknya, emosi mulai mengambil alih kendali, menguasai situasi melalui sistem limbik atau bagian dari otak yang terlibat dalam respons emosional. Orang kemudian dituntun untuk melakukan pembelian yang membuat mereka bahagia atau memberikan nilai emosional.
2. Kepuasan Instan
Berbelanja memberikan dopamin yang sangat dibutuhkan pada saat stres dan cemas. Memanjakan diri dalam konsumerisme mungkin menawarkan ledakan kepuasan instan sesaat, tetapi biasanya hanya berlangsung singkat.
Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang memiliki kecenderungan melakukan impulsive buying, karena penelitian menunjukkan bahwa mereka sering membiarkan barang belanjaan mereka tidak digunakan atau hampir tidak disentuh.
3. Pengaruh sosial
Penelitian dari University of Florida dan University of Tennessee mengungkapkan bahwa kehadiran teman belanja dapat meningkatkan kemungkinan untuk berbelanja barang-barang yang tidak direncanakan, dengan potensi efek yang meningkat seiring dengan semakin eratnya ikatan antara pembeli.
Sebuah penelitian terbaru menyoroti bahwa anggota keluarga, terutama orang tua dan anak-anak, memiliki pengaruh yang lebih besar dalam mendorong impulsive buying dibandingkan orang lain seperti teman dekat atau pasangan.
4. Merasa Mendapat Keuntungan
Impulsive buying tidak selalu melibatkan pembelanjaan dalam jumlah besar untuk produk-produk mewah. Terkadang, orang melakukan pembelian impulsif dengan keyakinan bahwa hal itu akan menghemat uang mereka dalam jangka panjang.
Sesuai dengan survei yang dilakukan oleh Slickdeals, 45% responden menyatakan bahwa mereka hanya akan memanfaatkan produk yang sudah didiskon. Promosi penjualan dapat sangat memengaruhi perilaku pembelian konsumen karena mereka cenderung sadar harga, dan lebih cenderung memilih produk yang menawarkan penghematan yang lebih besar.
5. Rasa Ingin Memiliki
Seorang Psikolog sekaligus Asisten Profesor Program Studi Psikologi di University of Minnesota Duluth, Ian Zimmerman, menulis pada laman Psychology Today, rasa ingin memiliki sesuatu menjadi salah satu penyebab impulsive buying.
Ketika seseorang merasa memikirkan sebuah produk, akan terbentuk hubungan antara konsumen dan produk. Ketika konsumen terhubung, pikiran pada dasarnya mulai bertindak seolah-olah telah memiliki produk tersebut, sehingga sulit untuk tidak membelinya.
Hubungan fisik dengan sebuah produk tercipta ketika dekat dengan produk tersebut seperti saat dapat menyentuhnya. Hubungan temporal dengan suatu produk tercipta ketika konsumen bisa langsung membelinya.
Terakhir, hubungan sosial dengan suatu produk tercipta ketika melihat seseorang menggunakannya dan konsumen membandingkan diri dengan orang tersebut.