RIAU ONLINE, PEKANBARU - Sambil menyalakan sebatang rokok kretek kini berada di tangan kanannya, Tacun Ksr mencoba mengingat-ingat kembali ingatannya bagaimana ia mampu menghidupi dua anak dan satu istrinya di tengah lesunya pangsa pasar batu akik.
Batu penghias jari manis, leher bahkan dijadikan penolak bala pada masa emasnya sempat mengegerkan warga, populer ada pertengahan 2015. Namun kini, sudah tak setenar bahkan tak dianggap lagi.
Seperti dipaksa bangun dari tidur indahnya, Tacun Ksr hampir tak bisa berbuat apa-apa usai tangan dan kakinya lumpuh, lehernya dirantai bahkan badannya dibelenggu.
Pekerjaan satu-satunya sebagai perajin batu akik tak mampu lagi membuat asap dapurnya kembali mengepul dengan hebatnya. "Ibu itu saksinya (sambil menunjuk ke arah tetangga). Kami lebih banyak makan kangkung rawa saat ini, daripada makan ikan," kata Da Cun, sapaan tetangga, diteras sempit rumahnya, Selasa, 17 Oktober 2017.
Baca Juga:
Ritual Pembuatan Jalur Sarat Makna Filosofis
Pak Janggut, Saksi Sisa-Sisa Kejayaan Pembuat Sampan Di Tepi Sungai Siak
Memang, di sekililing rumah yang disewanya itu, banyak ditumbuhi tanaman sayur jenis kangkung. Mungkin itu juga mengapa ia sering makan sayuran tersebut.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Keluarga terdekatnya pun turut menyalahkan karena tak mau beralih pekerjaan. Apa salahnya, ia banting stir mencari pekerjaan lebih menjanjikan.. Seperti menukang, bertani atau menjadi buruh pabrik.
"Saya tak mau beralih pekerjaan. Untuk apa coba?. Waktu itu hampir empat bulan menganggur. Padahal dari Painan, awalnya saya merantau sendiri. Anak, istri saya tinggal. setelah 2 bulan di Pekanbaru dapat rezeki, istri dan anak saya bawa ngontrak rumah di Bom Baru ini," jelasnya.
"Naasnya, baru jalan enam bulan, batu akik tidak booming lagi. Saya sempat panik. Waktu itu awal 2016. Karena anak sudah terlanjur disekolahkan di Pekanbaru, mau pulang sudah tak mungkin lagi. Terpaksa bertahan dan mengadu nasib di sini," ceritanya mengiba.
Entah pertanda apa, rokok baru saja dihidupkannya tiba-tiba padam. Dengan sekuat tenaga Da Cun berusaha kembali menghidupkan rokok belum setengah dihabiskan dengan cara berulang kali menghisap kemudian dihembus. Ini dilakukannya hingga beberapa kali diulanginya. Beruntung, rokok kreteknya menyala dan percakapan dilanjutkan.
"Tidak habis benar sih uang waktu itu. Kemudian saya coba beli bahan (batu akik) black jack di Pasar Palapa, Labuhbaru sekitar 5 kg. Kemudian sampai di rumah saya pinjam gerinda teman dan satu minggu itu saya buat miniatur keris sama sangkur (pisau) komando," kenangnya sambil mengepulkan kembali asap rokoknya.
Dua karyanya kemudian dijajakan di pasar tempat ia membeli bahan dagangannya, Pasar Palapa, Jalan Durian, Labuhbaru Timur, Payung Sekaki. Satu, dua bahkan tiga hari, belum ada satupun jualannya diambil pembeli. Sampai Da Cun berpapasan dengan pedagang batu akik asal Aceh, Bang Agus.
Pisau komando dan miniatur keris berbahan dasar batu akik buatannya itu tanpa sengaja menarik simpati Bang Agus di pertemuan pertama itu.
"Ditanyanya siapa buat ini, saya jawab saya, waktu itu. Mungkin Bang Agus itu tertarik dan diajaknyalah ke galerinya. Di sana mesin lengkap, bahan cukup. Kemudian saya malah dikasi PR dalam satu minggu apa bisa dibuat," katanya dengan penuh semangat.
Klik Juga:
Cinta Batu Akik, Kolektor Ini Hiasi Tubuhnya Dengan Batu
Atuk Kumis Sempat Berjualan Batu Akik
Da Cun di galeri Bang AGus membuat satu buah cangkir, dua pisau komando dan cerek semuanya berbahan dasar batu akik. Hasil karyanya itu juga membuatnya mendapatkan amanah menjaga bengkel warga Aceh ini karena kekaguman hasil kerjanya.
Bang Agus menitipkan seluruh bengkel kesayangan ke Da Cub. Berapa karya laku terjual dibagi sama rata. Usaha ini tak berjalan lama. Ia menyerahkan bengkel serta peralatannya ke Agus, lalu bergegas pulang kampung halaman.
"Baru jalan 3 bulan ternyata usaha itu macet. Saya waktu itu kalah saing dengan pedagang yang pandai meniru hasil kerja saya ini. Kita jual Rp 3 juta, mereka lebih murah, hanya Rp 1 juta. Ya tentu kalah. Karena pasar sudah rusak, kemudian kios saya serahkan ke Bang Agus. Bahan-bahan saya bawa pulang sekitar 2 kubik dan mulai lagi dari nol di rumah sini," jelasnya.
Setelah semua peristiwa itu menimpa dirinya, Tacun tak berkecil hati. Perlahan, ia membangun bengkel kecil disamping rumah sewanya.
Ukurannya tak terlalu besar, 3x3 meter sisa bangunan ia manfaatkan agar kembali bekerja. Selain itu, seorang perwira dari Pol Air Polda Riau meminjamkannya alat asah dan potong batu akik. Alhasil, sepetak teras halamannya pun disulapnya menjadi bengkel mini.
Selama bekerja secara mandiri, sudah banyak hasil karya telah ia buat. Dalam dua tahun ini saja, Da Cun memperkirakan 50 unit kerajinan berbahan batu akik telah ia buat. Belum lagi karya-karya diluar bahan batu akik.
"Seperti perahu layar, misalnya. Ini pengerjaannya dua bulan. Kapal ini lebarnya 1 cm, panjang 60 cm, tinggi 60 cm. Harga negonya Rp 80 juta. Kalau harga nett-nya tergantung saya sama pembeli nantinya. Kalau kerajinan di luar batu juga sudah banyak. Seperti vespa dari sabut kelapa, hiasan dari pohon tumbang. Banyaklah pokoknya,"
Kalau mau belajar pun, tuturnya, ia siap mengajarkan. Apalagi untuk lainnya. Hanya saja karena Da Cun tak memiliki KTP dan KK Pekanbaru, semuanya jadi susah mau urus ini, urus itu.
"Masalahnya itu karena administrasinya (biaya) yang belum sampai ke sana. Ini saja kalau ada barang laku (jualan hingga ke luar daerah) saya penuhi perlengkapan dapur, alat kerja sama kebutuhan anak. Kalau sudah lengkap, saya kerja buat ini (karya). Tidak jualan. Begitu seterusnya," tutupnya.
Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE
Follow Twitter @red_riauonline
Subscribe Channel Youtube Riau Online,
Follow Instagram riauonline.co.id