Riau Defisit APBD, FITRA: Gubernur Harus Stop Bantuan Hibah ke Instansi Vertikal

Ilustrasi-APBD.jpg

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau 2025 mengalami defisit hingga Rp3,5 triliun. Namun, di tengah kondisi keuangan yang kritis tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau masih menganggarkan dana hibah hingga sebesar Rp153,3 miliar.

Hibah ini ditujukan untuk lembaga vertikal seperti untuk Kejaksaan, Kepolisian, dan TNI, yang digunakan untuk pembangunan rumah sakit, ruang VIP, rumah dinas Kejaksaan, serta pembangunan gedung barang bukti dan pagar. 

Selain itu, sejumlah pos belanja daerah pun justru mengalami peningkatan yang signifikan. Seperti tunjangan keluarga kepala daerah dan wakil kepala daerah, belanja rumah dinas DPRD Riau, tunjangan reses, belanja kursi kerja pejabat, hingga belanja pakaian bagi pejabat.

Data Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran Riau (FITRA) Provinsi Riau, sejumlah pos belanja yang melonjak berkali-kali lipat tersebut diantaranya tunjangan reses DPRD yang naik dari Rp1,36 miliar pada 2024 menjadi Rp4,09 miliar pada 2025, serta tunjangan kesejahteraan pimpinan dan anggota DPRD yang meningkat dari Rp15,2 miliar menjadi Rp17,08 miliar.

Selain itu, tunjangan perumahan DPRD bertambah dari Rp14,95 miliar menjadi Rp16,83 miliar, sementara dana operasional pimpinan DPRD naik dari Rp561,6 juta menjadi Rp676,8 juta.

Di Sekretariat Daerah, lonjakan belanja juga terjadi pada tunjangan keluarga Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang meningkat dari Rp7,38 juta menjadi Rp141,85 juta, serta tunjangan jabatan yang naik dari Rp81,37 juta menjadi Rp141,85 juta.

Selain itu, belanja konsumsi dan perjalanan dinas menunjukkan angka yang mencolok, seperti belanja makan dan minum jamuan tamu yang melonjak dari Rp10,46 miliar menjadi Rp18,89 miliar, serta belanja makan dan minum aktivitas lapangan yang meningkat dari Rp35,63 miliar menjadi Rp62,41 miliar.

Perjalanan dinas dalam negeri bertambah Rp29,45 miliar, sementara perjalanan dinas luar negeri meningkat Rp16,39 miliar.

Selain belanja operasional, beberapa pos belanja modal juga mengalami kenaikan yang tidak rasional. Misalnya, belanja pakaian dinas harian meningkat Rp2,37 miliar, dan pakaian dinas lapangan bertambah Rp4,29 miliar. Belanja modal alat rumah tangga naik Rp1,6 miliar, sementara belanja alat pengukur waktu meningkat Rp1,2 miliar.


Bahkan, belanja lemari dan arsip pejabat yang sebelumnya hanya Rp28,9 juta melonjak tajam menjadi Rp566,8 juta, bertambah hingga Rp537,8 juta. Lonjakan belanja dalam berbagai pos ini menunjukkan potensi pemborosan yang sangat besar dan tidak sesuai dengan kondisi keuangan daerah yang sedang mengalami defisit.

"Dengan kondisi defisit yang terjadi di Provinsi Riau, Langkah yang harus dilakukan Gubernur adalah melakukan evaluasi terhadap pos belanja operasional dan belanja modal tersebut. Anggaran yang tidak mendukung kebutuhan pelayanan dasar perlu dialihkan ke program yang lebih prioritas dan berdampak langsung bagi masyarakat," ujar Deputi FITRA Riau, Taufik, Senin 17 Maret 2025.

Menurutnya, dengan pernyataan Gubernur yang menegaskan akan menunda beberapa kegiatan pada tahun 2025, terasa tidak adil jika belanja yang masih bisa digeser tetap dipertahankan.

Oleh karena itu, Gubernur perlu segera mengkaji dan mengidentifikasi ulang alokasi anggaran 2025 agar lebih berorientasi pada efisiensi dan manfaat publik.

Dalam rapat konsultasi publik RPJMD, Gubernur menyampaikan bahwa ia telah meninjau belanja di masing-masing OPD. Namun, terdapat aspek penting yang masih perlu dievaluasi lebih lanjut, khususnya terkait belanja modal dan operasional.

Meskipun Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 mengamanatkan pemerintah daerah untuk melakukan penyesuaian terhadap belanja tertentu, seperti perjalanan dinas, makan minum, dan pembiayaan rapat, Gubernur menekankan bahwa ada hal lain yang tak kalah penting, yakni belanja operasional di Sekretariat DPRD.

"Evaluasi terhadap belanja operasional di Sekretariat DPRD menjadi krusial mengingat alokasinya yang sering kali cukup besar dalam struktur APBD. Di Provinsi Riau, transparansi dan efisiensi anggaran masih menjadi tantangan, terutama dalam memastikan bahwa anggaran daerah benar-benar diarahkan untuk mendukung program pembangunan yang berpihak kepada masyarakat," jelasnya.

Jika belanja operasional di Sekretariat DPRD tidak dikendalikan dengan baik, ada risiko berkurangnya anggaran untuk sektor-sektor prioritas, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan lingkungan.

Selain itu, reformulasi anggaran ini juga perlu mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektivitas agar APBD Riau lebih berorientasi pada hasil serta berdampak nyata bagi masyarakat

Fitra Riau menyarankan agar Gubernur segera berkomunikasi dengan pimpinan fraksi di DPRD untuk mengevaluasi belanja operasional, terutama yang terkait dengan anggaran di Sekretariat DPRD.

Langkah ini penting agar semua pihak, baik eksekutif maupun legislatif, bersama-sama mencari solusi dalam mengatasi defisit anggaran.

"Apalagi belanja hibah sebesar Rp153,3 miliar untuk lembaga vertikal seperti untuk Kejaksaan, Kepolisian, dan TNI, yang digunakan untuk pembangunan rumah sakit, ruang VIP, rumah dinas Kejaksaan, serta pembangunan gedung barang bukti dan pagar. Dalam situasi defisit, belanja hibah ini seharusnya ikut dievaluasi dan dialihkan untuk kebutuhan yang lebih mendesak bagi masyarakat," jelasnya.

Selain rasionalisasi belanja, Gubernur juga perlu untuk meningkatkan pendapatan daerah, baik melalui optimalisasi pajak dan retribusi maupun dengan mendorong inovasi pendapatan lainnya.

"Dengan langkah-langkah ini, diharapkan pengelolaan APBD Riau 2025 lebih efektif, efisien, dan berorientasi pada kepentingan public dan tentunya juga dapat menjadi acuan Solusi untuk mengatasi penurunan pendapatan," pungkasnya.